Pada hakikatnya Papua membutuhkan
pemimpin yang tangguh dan paham akan ketiga norma yang menjadi dasar bagi orang
Papua. Norma agama, adat, dan
pemerintah. Bukan hanya paham akan materi tetapi juga paham dalam penerapan norma-norma tersebut.
Lebih
jauh lagi, sangat tidak cukup bagi Papua hanya memiliki seorang pemimpin hebat. Seorang
pemimpin hebat membutuhkan orang-orang berintelektul yang dapat memperkuat dan mendukung penerapan program-programnya.
Seorang pemimpin akan tangguh ketika
norma-norma itu dapat di terapkan
sesuai tuntutan kebutuhan. Baik jangka
pendek, menengah, maupun panjang. Kesesuaian antara penguasaan dan penerapan itu terjadi dalam sebuah kepemimpinan jika sains dan teknologi dapat dikuasai oleh suatu negara atau daerah yang sedang berkembang .
"Saat ini kebutuhan orang Papua bukan seorang pemimpin kepala daerah dan ahli pemerintahan yang hebat"
Mengapa demikian, mari kita lihat?
Sejauh ini saya pribadi berpandangan
pemimpin bagi orang Papua sangat banyak. Kita beri pembatas generasi muda tahun 70-an ke atas,
bahkan di bawa tahun itu. Sakin banyaknya, di Papua dalam pesta demokrasi tidak jarang nyawa yang harus dibayar. Di Papua bukan hal aneh ketika pesta demokrasi berujung di Mahkama Kosntitusi (MK).
Demokrasi kok, hampir setiap pesta demokrasi di Papua selalu berujung di MK? Jangan-jangan kita orang Papua belum paham makna demokrasi itu sendiri. Entalah.
Persoalan
utama hal ini terjadi karena orang Papua merasa lebih bermartabat disebut
pemimpin pemerintahan (politik) dari pada seorang, dosen, fisikawan, biologikus, dokter, peneliti, teknik sipil, arsitektur, manufaktur geologikus dan sebagianya. Sederhananya,
bagi orang Papua jabatan bupati, Camat,
dan DPR lebih luar biasa dari pada seorang imuwan/peneliti.
Padahal dewasa ini kita sepakat maju
dan tidaknya sebuah negara atau pemerintahan bukan dari seorang pemimpin yang
hebat, tetapi penguasaan sains dan teknologi suatu negara atau daerah.
"Penguasaan sains dan teknologi menentukan sukses atau tidaknya sebuah kepemimpinan"
Pertanyaanya di Papua sains dan
teknologi sudah memasyarakat atau belum?
Soalnya yang akan mengubah dunia adalah penguasaan sains dan teknologi.
Apa masalahnya?
Masalah yang timbul dari pandangan
ini bisa kita lihat dari beberapa kasus yang terjadi di Papua.
Pertama seperti kasus proposal pembangkit listrik di Deiyai yang ditolak Berkali-kali. Ditolak pemerintah hanya karena proposal tersebut tidak memenuhi syarat. Berikut saya kutip dari kompas.
“Sudirman, harus ada kelengkapan administrasim studi kelayakan, hingga detail engineering. Edisi Jumat, 13 /11 2015”
Kedua masalah kematian 66 anak
dibawa umur 10 tahun di kabupaten Nduga.
Akibat dari kurangnya tenaga ahli. Pemerintah Papua kewalahan mengetahui penyebabnya. Bahkan pemerintah
khusnya dinas kesehatan provinsi Papua meminta bantuan keluar
Papua (kemenkes).
Berikut ini saya kutip dari
beritasatu.com edisi 21/1/216.
“Dinas Kesehatan Papua sesungguhnya sudah menulis surat kepada Menteri Kesehatan, agar dibantu membasmi dan menanggulangi penyakit aneh tersebut. Tetapi hingga kini belum ada tanggapan”
Dari dua poin ini, kita dapat mengasumsikan. Jangankan ilmuwan,
lembaga riset Papua saja masih diangan.
Sepengetahuan saya, dimasa pemerintahan
Belanda lembaga penelitian di
Papua secara resmi dibentuk dari
inisitif Dr. Jan van Baal, mantan Hoofd van Plaatselijk Bestuur di Mindiptanah
yang juga perna menjabat sebagai Gubernur Gouvernement van Nederlands-Nieuw Guinea.
Dari penelitian–penelitian yang dilakukan pemerintah Belanda, baik yang berkaitan dengan
bahasa-budaya serta kekayaan alam Papua, sampai saat ini masih tersimpan rapi
di Belanda.
Selain dari hasil kajian dan publikasi yang dilakukan secara pribadi para ilmuwan Belanda.
Terdapat pulah jurnal umum seperti Vademecum 1956, Nederlands Nieuw-Guinea, Nieuw Guinea
Studien.
Pembentukan ini terkendala ketika
Papua berintegrasi dengan Indonesia. Di masa pemerintahan Indonesia, lembaga
ini terbentuk pada Tahun 2009. Gubernur Suebu menerbitkan Keputusan Nomor
111 Tahun 2009 Tentang Pembentukan TIM Pelaksana Riset Papua Periode Tahun
2009-2014. Dari terbentuknya lembaga itu sampai saat ini, belum
terlalu menunjukan kemajuannya.
Mengapa hal itu terjadi di Papua?
Kenyataanya mayoritas orang Papua akan selalu melihat dari apa yang tampak. Dalam artian tidak analitik. Untuk
mendukung argumen ini saya akan berikan
satu contoh analogi dari sebuah persolan yang menjadi trending topik di beberapa
media nasional.
Bukan tidak mungkin ketika melihat
dan mendengar ketenaran Gubernur
Jakarta yang akrab di sapa Ahok, wali kota Badung Ridwan Kamil, atau
pun juga orang nomor satu di negara ini. Banyak orang Papua mungkin beranggapan Papua membutukan pemimpin seperti mereka.
Bagi saya pandangan seperti itu sangat keliru, karena apa?
Para pemimpin tersebut terlihat berani dan tangguh karena mereka tahu ketika mereka
menjabat, di belakang mereka terdapat ratusan
Doktor, ribuan Profesor dan Ilmuwan yang siap mendorong dan membantu mereka dalam penerapan tiap programnya.
Kalau konteks Papua meski
pemimpinnya hebat. Soal urusan sains, teknologi, riset, dan lainya
sudah pasti orang luar yang akan di datangkan ke Papua
Jangan heran bro.. jika pemerintah
Papua harus buang kas Daerah untuk mendatangkan orang luar. Jangankan kasus besar, sebut saja soal penelitian atau uji
kelayakan dalam penerapan suatu program. Sudah pasti pemerintah harus berani mengeluarkan miliaran rupiah.
Gan, saat ini bukan kita hidup di era tahun 60-an. Sekarang zaman orang berperang
menggunakan ilmu pengetahuan. Penguasaan
Sains dan teknologi sangat berperan penting di zaman ini.
Kita sepakat
seorang pemimpin jika berbica tentang penerapan program- programnya ia akan
berbicara di atas data valid, terukur
berdasarkan hasil penelitan dan riset.
Kalau seorang pemimpin asal bicara saya yakin pasti ia orang stres atau para pemilihnya yang stres.
"Dari beberapa poin di
atas saya sebagai pribadi berpendapat Papua tertinggal karena
kesalahan orang Papua sendiri. Khususnya pemerintah daerah dan minimnya
kesadaran generasi mudah Papua tentang pentingnya penguasaan sains dan
teknologi"
Apa solusinya?
Sebenarnya persolan ini dapat di
atasi dengan memanfaatkan
program-program yang di berikan perintah pusat. Sejauh ini program dari pemerintah pusat di bidang pendidikan untuk orang Papua sangat banyak dan bahkan dana yang dicairkan tidak sedikit, maka efisiensi penggunaan dana dan pemanfatan program-program dari pemerintah pusat oleh pemerintah daerah yang sangat tidak akurat.
Langka pertama yang harus di tempu Pemerintah daerah adalah mengembangkan
lembaga riset Papua yang disinggung pada bagian sebelumnya. Lembaga ini
tanpa sumber daya manusia yang singkron dengan bidang-bidangnya sangat mustahil untuk berkembang.
Pemerintah harus
mengutamakan bidang-bedang langkah khususnya di bidang sains dan teknologi.
Bukan memperbanyak pemerintahan yang nantinya menciptakan demokrasi kesukuan
dan keluarga di Papua. Dari langkah ini, orang Papua akan memiliki lembaga riset yang
di segani.
Pandangan ini sesuai dengan
kekayaan alam Papua dan keanekaragaman budaya dan bahasa. Dengan lahirnya para
ilmuwan Papua di bidang sain dan teknologi yang di imbangi dengan lembaga riset
yang unggul maka kepemimpinan akan terarah. Dalam artian, hasil dari riset tersebut dapat memberi kemudahan kepada para pemimpin di Papua dalam setiap kebijakan yang hendak di ambil maupun penerapan programnya. Setelah hal itu diterapkan pemerintah daerah, barulah kita dapat menyamakan dan mengharapkan pemimpipin seperti, Ahok, Kang Emil, dan Jokowi.
.
.
"Dan selama hal- hal kecil yang menjadi vital dalam sebuah kemajuan dan perubahan suatu negara atau daerah, seperti yang di jelaskan pada bagian atas, tidak di utamakan. Pemimpin sebaik apapun di Papua akan selalu terkendala dalam menerapakan program-programnya.
Selain itu, jika generasi mudah Papua mau pun pemerintah daerah menomorduakan sains dan teknologi. Selama itu pulah sains dan teknologi akan memperbudak orang Papua. Hasil akhirnya jangan tersentak jika generasi mendatang akan mempelajari bahasa, budaya, frola, fauna, kekayan biota laut dan lain sebagainya yang terdapat di Papua dari bangsa lain.
Bagaimana pendapat Anda?
benar gan saya juga sependapat, menurut saya bukan hanya di Papua, kasus semacam ini (mendewakan) orang "beruang" merupakan sabuah penyakit untuk negara-negara berkembang.Indonesia misalnya.
ReplyDeletegitu gan, ini baru templatenya enak gan...
ReplyDeletee, gan tanti hapus saja tu header, pake huruf saja...
tapi kalau mau belajar buat header pake gambar, coba ketik kata kunci, buat header blog pake corel draw..
gitu gan...
Trims gan untuk masukannya. Saya sudah menghapus gambar headernya. Kalau nanti bisa saya desing baru muat kalau tidak ya... begini sja dulu.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteMantaP saya setuju dng tulisan anda salut dan menarik...Trimakasih banyak sudah berbagi
ReplyDeleteMantaP saya setuju dng tulisan anda salut dan menarik...Trimakasih banyak sudah berbagi
ReplyDelete