-->

Namaku Sejarah

Post a Comment
Dihaimoma.com

Pagi itu aku terbangun dari tidur panjangku. Udara masih dingin. Kuarahkan pandanganku keluar menembusi jendela kaca yang terpampang di bilik kanan rumah itu. Diluar masih remang, embun yang mengalir di dedaunan perlahan menetes ketanah. Suasa seperti biasa. Seperti pagi pada umumnya. Namun kali ini ada satu hal yang aneh. Butiran –butiran embun itu berbaur dengan debu. Kutatap lagi disekelilingku. Tempat tidurku telah berlumut dan berjamur. Papan dan dinding rumah itu lapuk dimakan serangga.

Menatap semua itu, akal sehatku lumpuh. Aku berharap semoga apa yang dilihat mataku hanyalah mimpi atau ilusi dari tuhannya dunia. Aku mencoba memukul kepalaku, mencubit tanganku, bahkan menggerahkan kakiku, namun semuanya tetap nyata adanya. Aneh!!.  yang awalnya aku rasa biasa, berbalik menjadi renungan untukku di pagi itu.

Semu itu belum juga membuat aku beranjak dari tempat tidur. Aku masih duduk seperti semula. Posisi kaki, tangan, hingga posisi dudukku tidak berpindah seinci pun. Aku merasa diriku adalah patung, namun tidak juga demikian kerena aku masih berpikir dan merenung.

Tak jauh dari tempat dudukku. Aku mendengar suara makian, bunyi tembakan, bunyi sirene, bunyi pukulan, tangisan, dan bahkan ledakan. Sampai-sampai aku tak bisa memilah dan menyimak bunyi-bunyi itu, satu demi satu. Semua bunyi itu membentuk satu–kesatuan dan terdengar ditelingaku, ibarat orang sedang berperang.

Semua ini aneh…! Kataku ingin tahu

Aku mencoba menggerahkan tubuhku perlahan. Berdiri dan melangkah dengan penuh kehati-hatian menuju pintu rumah di sebelah kananku. Pintu itu telah terbuka lebar. Kutatap pintu itu dengan saksama dan kudapati jaringan-jaringan laba-laba di sepanjang pintu itu. Ensel serta baut atas yang memperkokoh pintu itu telah hilang entah kemana. Tampak pada pintu itu lubang-lubang kecil bekas tancapan baut. Dan lubang-lubang itu telah menjadi sarang serangga. Nampaknya, aku telah tertidur berpuluh tahun! Pikirku, dalam hati.

***************************************************

Beberapa menit berlalu. Hampir saja aku terbawa dalam kebimbangan. Ku tatap halaman di depan rumah itu. Panjang serta lebar halam itu menyerupai lapangan sepak bola. Dipojok kanan dari lapangan itu terbentang sebuah jalan raya yang ujungnya tak terjaungkau lagi oleh mataku. Nampaknya, suara-suara tadi datang dari arah jalan Raya itu. Tiba-tiba saja, suara-suara tadi menghilang entah kemana. Aku berlari di tengah lapangan itu. Suasana begitu sunyi, bahkan lebih sunyi dari rumah tak berpenghuni.

Sesampai di pojok kanan lapangan itu. Aku tahu jika aku sedangan berdiri tepat di awal jalan raya yang tadi telihat samar. Kuarahkan pendanganku kedepan jalan raya itu. Nyatanya disamping kanan dan kiri jalan raya itu tertata sebuah kota besar. Dalam kota tersebut beribu juta orang sedang berlalu-lalang.

Ketika aku mengamati kota itu. Aku merasakan hal yang lebih aneh dari keanehan sebelumnya di rumah itu. Ada yang aneh, dengan kota serta orang-orang di kota itu. Kota itu nampaknya kota tua. Bangunan, tumbuhan serta kendaraan di kota itu telah berlumut, berjamur, berkarat, dan bahkan ada yang menyatuh dan hampir terkubur dalam tanah. Lebih anehnya lagi, banyak dari orang-orang di kota itu bertopeng, bercadar, dan bermasker. Mereka sulit dibedahkan antara masyarakat, kades, camat, bupati, gubernur presiden. Bahkan antara Pastor pendeta dan haji.

Yah… sulit karena wajah jasmani mereka ditutup rapat. Dari sekian banyak orang di kota itu satu atau dua dari mereka yang berjalan dengan wajah polos tak terbungkus. Aku melihat mereka hanya sesekali dari ujung jalan raya itu. Mereka yang polos pun hendak tak tertatap oleh mataku yang kesulitan menembus kerumunan orang-orang yang menutup wajah mereka.

Pandanganku ke wajah kota serta orang-orang itu membuat tensi kebingunganku bertamah. Hanya ada satu tanyaku dalam hati. Apakah kota ini ada yang memusnakannya dengan bom. Atau dilanda bencana sehingga debu-debu tadi beterbangan dan bercampur dalam embun pagi? Jika benar demikian tidak mungkin karena kota ini, kota tua.

Sementara kubingung dengan apa yang kulihat di kota tua itu. Suara serta bunyi-bunyi yang tadi menghampiriku di rumah itu, terdengar lagi di telingaku. Setelah kusimak, bunyi itu berasal dari ujung jalan raya yang terbentang didepanku. Ku arahkan pandanganku jauh kedepan jalan raya itu. Tampaknya jalan itu hampir tak berujung dan masih samar dijangkau mata seperti halnya tadi. Melalui jalan raya yang terbentang didepanku itu. Aku mulai berlari menuju sumber suara dan bunyi itu. Tak perlu berapa jauh jaraknya. Tak perlu waktu yang kikir akan terus berlalu. Akan kusaksikan sumber serta penyebab bunyi dan suara-suara itu. Pikirku sebari berlari.

*************************************************

Setelah bebera kilo meter kulewati. Kudapati tulang-belulang manusia   yang berserahkan dan menumpuk di atas badan jalan itu. Banyak diantaranya sudah di tumbuhi lumut dan hendak menjadi hiasan belantara. Beberapa lagi masih baru dan dangingnya masih melekat pada tulang-belulang itu. Jalan itu semakin jauh, semakin sempit, dan semakin jarang di tapaki orang.

Berserakannya tulang- belulang itu membuat aku mengubah cara pandangku, yang tadinya rasa aneh tiba-tiba saja rasa itu berubah sembilan puluh derat menjadi rasa takut dan waspada. Jangan-jangan aku sudah memasuki daerah kekuasan kanibal. Pikirku dalam hati

Aku terus berlajan. Sumber suara dan bunyi itu makin mendekat. Jalan Raya yang ku tapaki itu makin menyempit dan mengkerucut. Badan jalan itu mulai di tumbuhi alang-alang. Aku masih terus berjalan.

Beranjak dari situ akhirnya kudapati sumber suara tangisan. Di arah timur tak jauh dari tempat aku berdiri kudapati seekor burung Cendrawasih menangis karena buluh sayapnya telah di cabut  dan kakinya telah diamputasi. Ia tak lihat untuk menari apa lagi terbang menjajaki ranting belantara. Kutengok lagi kebarat. Ku dapati seekor burung Mambruk sedang menangis karena makotahnya di cabut dan kakinya dirantai.  

Berhadapan dengan kenyataan itu dan ditambah lagi dengan apa yang tadi kusaksikan selama perjalananku, membuat aku benar-benar kesal. Manusia Ia bunuh, binatang Ia siksa, kota Ia matikan. Berhati ibliskah Ia yang melakukan semua ini. Tanyaku!

Do…rr, bunyi tembakan kira-kira tiga kilo meter dari tempatku berdiri. Disusul lagi dengan suara-suara manusia yang hendak perang seperti pada masa perang Salib. Dimana kedua kubuh saling berhadapan mengandalkan strategi perang, jumlah pasukan, dan kekuatan fisiknya .Kejadian singkat itu membuat rasa emosi yang makin menggebu dalam diriku buyar entah kemana. Aku berjalan maju tanpa menghiraukan kedua burung itu. Kali ini aku maju dengan penuh  keingintahuan, namun sedikit diselingi kehati-hatian.

Baru juga berjalan beberapa langkah,  terlihat kota Megapolitan. Kota itu dari kejauhan tampak mewa dan menawan. Aku mulai berlari dan menghampiri kota itu. Dari pinggiran kota itu, aku lihat dua kubu besar berbaris dengan pemimpinya masing-masing. Mereka sama, tak gentar, berani, dan siap mati. 

Kubu yang satu mengenakan, spanduk, haleho, stiker, toa dan dentuman kata yang hendak mempermalukan lawannya. Dari kubu ini hanya satu kata yang tampak jelas tertulis di spanduk yang terbentang di depan mereka ”LAWAN” dan mereka mengenakan baju bergambarkan burung Mambruk. Kubu satunya lagi dilengakapi dengan berjuta model Senjatah, pisau, kendaraan perang, darat, laut maupun udara. Dari kubu ini mereka berpakaian loreng berlapis baja.

Melihat kedua kubu yang hendak berperang. Aku bersembunyi di balik pepohonan dan menyaksikanya. Dari sini tujuan utamaku untuk mengejar sumber suara dan bunyi itu sirna. Tujuanku sekarang berganti, bagaimana mengetahui sumber utama konflik antara kedua kubu itu? 



**************************************************

Mereka berperang. Aku melihat dengan mata kepalaku. Kubu yang bermodalkan spanduk itu dibantai dan di bunuh tanpa perlawanan senjatah dari mereka. Banyak yang terbunuh, terluka, dan bahkan banyak pula yang berhasil melarikan diri. Mayat dari korban-korban itu ada yang di potong kemaluanya, biji matanya dicungkil, dan jarinya di potong. Mayat –mayat itu di angkut dengan truk. Lalalu truk itu melintas tepat di samping persembunyanku menuju jalan yang tadi kutempuh. Sopir yang mengendarai truk itu menjatukan sebuah gulungan surat tepat di pinggir jalan tidak jauh dari persembunyanku. Truk itu menuju ke ara jalan raya yang tadi kulewati, menjauh, mengecil dan terus menghilang dari pandanganku.

Sekarang aku tahu mengapa tumpukan tulang -belulang itu berserakan di badan jalan itu. Mengapa kedua burung itu menangis. Nanum satu hal belumku ketahui adalah mengapa kedua kubu itu berperang?Dengan penasaran aku kelur dan berlari menghampiri gulungan surat itu lalu aku mengambilnya dan memasukannya dalam saku celanaku. Aku berlari kedepan hendak membantu beberapa orang yang terluka karena perang tadi. Tidak terasa perjalan-panjang dan ditamba lagi dengan aku menyaksikan perang tersebut sang waktu berlalu tanpa pamit.

Hari semakin petang, mentari yang keemasan dengan pijaran sinar yang hendak sirna menyinari kota yang usai dari perang itu. Banyak dari mereka hari ini tenggelam bersama senja  namun esok banyak pulah yang akan terbit bersama terbitnya mentari. Pikirku.

Dari sekian banyak yang terluka. Aku menujuh seorang lelaki paru baya yang tampak pincang kerena terkena tembakan di paha kanannya.

"Selamat sore!” Jawabku menyapa.

"Sore Juga…!”

"Ko dari mana? Ko buat apa di sini? Nanti kojuga di bunuh, jadi ko cari tempat yang aman. Cepat… ! "Menyuruhku tanpa basa-basi.

"Ah.. iya Bapa nanti sa pergi, tapi sa boleh tahu kha, kenapa kalian berperang?” Tanyaku lagi.

Oohh..iyo sudah, kalau ko ingin tahu sa cerita masalah dan alasanya. Tetapi sebelumnya, Ko pu nama siapa? Dan ko dari mana, sedang menuju kemana?

"Baaa... Bapa, nama itu apa? Sa tidak tahu". Tanyaku.

Dan sekarang ini, sa baru terbangun dari tidir panjang. Lanjutku menjelaskan.

Aku juga bingung...Yah…ku kira orang ini gila. Menanyakan sesuatu, yang aku sama sekali tak mengetahuinya. Nama dan asal. Setahuku aku hanya terbangun dari tidur panjangku”. Pikirku dalam hati.

"Hehehe, ko tidak gila to?” Ia Menyapaku lagi.

Aku bingung, harus menjawab apa? Dan bagaimana menjelaskan semuanya kepada bapa itu. Aku hanya terdiam menatap orang asing itu.

Oke sudah … dari pada ko lama-lama disini, nanti ko juga dibunuh jadi sa cerita sudah.

Dia mulai bercerita padaku.

Bapak pu nama Pilatus, panggil saja Pa.. Pila.

Anak…! "Sebenarnya kami berperang, melawan penjahat yang dahulu membunuh ayah dan Ibu dari Sejarah"Lanjutnya serius.

Waktu itu sejarah lahir pada tanggal 1 Desember 1961. Tetapi, orang-orang yang tadi membantai kami itu  telah membunuh ayah dan ibu dari sejarah. Kalau bapak tidak salah, kejadian itu di awali  pada tanggal 19 Desember 1961. Jadi, saat itu sejarah baru berumur 19 hari.

Kelihatannya, saat serius bercerita penggunaan bahasa dari bapak itu tampak baik dan benar. Tidak seperti pada awal kami saling menyapa. Aku yakin bapak itu terpelajar.

Sejak kejadian itu,… mmmm!! Sejarah hilang entah kemana. Kata orang Ia sedang di bungkam dan di ikat dalam salah satu rumah. Kami berperang selama 56 tahun untuk mengambil alih sejarah kami. Mereka sudah mengambil nyawa ayah dan Ibu dari sejarah waktu itu. Kejadian itu bermulah ketika mereka menyerang sebuah kota yang sekarang disebut kota tua. Kota itu menjadi kota tua dan di penuhi manusia bertopeng ketika kota itu jatuh ketangan mereka. Padahal kota itu dulu sangat maju dan dikagumi dunia..huuuu!” Menarik nafas.

Sekarang Ayah dan ibu sejarah sudah mereka bunuh. Kota serta harta kami sudah mereka rampas. Kami sendiri sekarang tersisa segelintir orang. Banyak dari kami sudah menjadi penyumbang minyak bumi yang mana setelah kita mati dan terurai pun akan mereka pakai untuk pemuas hawa nafsu mereka. Semua itu yang terjadi Nak. Makanya, kami yang tersisa ini terus melawan. Meski tak seberapa.

Terlepas dari semua itu. Perang yang tadi berlangsung hanyalah satu dari berjuta perang yang sudah berlangsung. Mereka sudah rancang berbagi macan cara. Baik yang halus maupun yang kasar untuk membunuh Si Sejarah. Dan jika itu terjadi, dalam artian Sejarah pun di bunuh, maka kami akan punah. Tambahnya dengan nada sedih.

Itulah sebabnya kami berlomba mencari Sejarah kami yang hilang dan di sembunyikan. Karena kebenaran Si sejarah yang akan memutuskan pertikaian kami ini.

Aku terdiam tanpa kata. Rasanya kata-kata yang keluar dari mulut lelaki paru baya itu diucapkan seakan sedang mengatakan jika akulah Sejarah mereka. Aku bingun dan terus terdiam.

"Kami yakin Sejarah itu akan terlahir kembali. Ia akan datang bangkit dan menyudahi pertikaian antara kami. Sekarang kamu boleh pergi berlindung, sebelum para musuh Sejarah itu datang menghabisimu disini". Tambahnya lagi.

Usai kata-kata itu terucap lelaki paru baya itu bangkil dan berjalan perlahan menyerek kaki kanannya yang terluka itu pergi dan menghilang dari pandanganku.

************************************************

Aku berusaha merenung apa yang  diucapkan lelaki itu. Duduk di pinggiran kota megapolitan itu sembari mengeluarkan gulungan surat yang dijatuhkan sopir pengangkut mayat tadi. Ikatan gulungan surat itu berwarna hitan dan kertasnya berwarana cokelat. Dimuka isi kertas itu terlihat  jelas susunan aksara membentuk rangkaian  kalimat  yang digores dengan tintah merah.  Terus kubuka gulungan itu dan membacanya:

 Salam Horma

Dari pantauan intelejen kami. Kami telah menerimah Informasi bahwa Si sejarah telah terbangun dari tidur panjangnya. Ia sudah datang kembali menyaksikan peperang antara kamu dan para pembelahnya. Dia telah tiba di pinggiran kota megapolitan dan langsung bertemu dengan lelaki paru baya yang kalian menembaknya di paha kanan. Dari lelaki itu dia telah menerimah informasi lengkap tentang apa yang telah kami lakukan sejak tanggal 19 Desember 1961 sampai dengan saat ini  . Intinya ini masalah besar buat kami, karena kemungkinan besar Ia akan menghakimi kami dengan kebenarannya.

Camkan dalam benak kalian para pasukanku yang setia. Dua hari lagi akan genap 57 tahun usia Si sejarah. Apapun yang menyangkut Sejarah yang lahir pada tanggal 1 Desember 1961 harus di hentikan. Kami adalah penguasa atas ayah dan ibu sejarah.Atas wilayah dan segalah kekayaan sejarah. Orang tua serta pengikutnya telah kami bantai.Sekarang tinggal satu tahap lagi dan satu pekerjaan terberat bagi kalian yaitu memusnakan sejarah yang dituhankan oleh para pengikutnya.

Para pasukanku yang setia, jangan menyerah untuk menghabisi sejarah. Dia hanya boca ingusan yang tak berdaya. Habisi dia dan singkirkan dia sebelum Ia kembali menghakimi kami dengan kebenarannya.



                             Salam hormat. Tugasmu adalah nyawamu

                                    Komandan Negeri rakus.

Aku masih terdiam, dan ternyata setelah kubaca suarat itu dugaanku terhadap pembicaraan lelaki paru baya itu, benar adanya. Aku adalah sejarah. Surat ini dan omongan lelaki itu membuat aku menyadari namaku, asalku, serta kejahatan di masa lalu yang menimpa orang tuaku.

Namaku adalah sejarah. Aku adalah saksi sumber kebenaran di masalalu untuk saat ini. Surat dan omongan lelaki itu membuat otakku terbuka. Aku berdiri dan berteriak dengan gagah berani dari pinggiran kota megapolitan itu.

Hahahahaha…… aku adalah sejarah. Aku telah lahir kembali.

Hahahahah……… aku yang hendak engkau bunuh.

Aku yang hendak berulangtahun Ke -57 pada tanggal 1 Desember 2018.

Hahahahah, Aku adalah saksi kebenaran dan pembawa perdamaian.



Negeri hujan, 7 Juli 2018 

Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter