Berbicara tentang pendidikan di Indonesia bukan hal baru. Sejak masih duduk dibangku sekolah dasar ada dua kalimat yang hampir selalu saya dengar. "Indonesia merupakan negara berkembang dan Papua masih tertinggal/terbelakang". Nampaknya, dua kalimat ini masih nyaring untuk disimak hingga kini. Kondisi ini tentu menjadi indikasi bahwa kita tidak bisa melihat kualitas pendidikan di Papua tanpa melihat sistem pendidikan di Indonesia secara menyeluruh.
Sebelum memasuki pembahasan lebih mendalam tentang perkembangan pendidikan di Papua. Terlebih dulu Dihai akan mencoba mengulas sistem pendidikan di Indonesia secara singkat. Semoga penjelasan itu membawa pembaca ke pokok permsalahan pendidikan di Papua.
Sistem Pendidikan Indonesia ?
Sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal I ayat 1, 2 dan 3 di sana didefinisikan mengenai pendidikan, pendidikan nasional dan sistem pendidikan nasional. Berdasarkan isi dari poin-poin ini dapat kita pahami bahwa pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana yang diciptakan agar terjadi suasana proses belajar mengajar untuk peserta didik mencapai kompetensi tertentu. Pendidikan nasional itu sendiri dikembangkan berdasarkan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayan nasional dan terus berkembang untuk menjawab tuntutan zaman dalam sistem kesatuan berbagai komponen yang terkait secara utuh dan terpadu guna mencapai tujuan pendidikan nasional.Artinya, perubahan dan penyesuaian dalam sistem pendidikan itu sendiri menjadi hal yang tidak bisa dilewatkan. Dari poin ini mencul pertanyaan, seperti apa perubahannya? mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah ada konsekuensi yang harus diterima? dan lain sebagainya.Bila menengok kembali sistem pendidikan di Indonesia sebelum kurikukulum 2013 alias K13 diterapkan. Indonesia telah melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional dalam rentang 1947-2013(tirto.id). Dari proses itu, kita akan menemukan satu poin pembeda yang di dalamnya mengutamakan domain kognitif daripada afektif dan psikomotorik. Pendidikan di Indonesia sebelum K13 lebih dominan apanya? Bukan bagaimannya? Sehingga menghafal telah membudaya di Indonesia. Budaya menghafal yang tinggi dan daya analisis yang rendah dari anak didik ini pun salah satu pemicu diterapkannya kurikulum 2013.
Implikasi lainnya adalah dari sistem pendidikan yang tidak otonom dan terikat pada situasi politik menimbulkan ungkapan"Siapa yang menjadi menteri pendidikan maka aturannya yang berlaku".Pemerintah dengan segala standarnya yang terus berubah menuntut guru dan guru dengan segala kapasitasnya memakasa siswa untuk memenuhi standar pemerintah itu (bahkan terkadang guru sendiri pun bingung untuk menerapkan standar dinamis itu).
Apa lagi dibeberapa daerah yang rata-rata orang tua siswa belum berpendidikan formal dan akses terhadap sumber bejar tidak ada alias hanya guru satu-satunya, seperti di wilayah Papua. Guru lagi yang harus memulai dari nol, karena si anak tidak mendapat dasar-dasar pendidikan formal dari rumah atau tidak bisa belajar mandiri seperti di kota yang aksesnya terbuka. Belum lagi buku guru dan buku sisiwa yang sangat heterogen di Indonesia. Guru dituntut untuk memilih buku yang sesuai. Pada hal bisa saja buku siswa dan buku Guru disusun oleh orang-orang terbaik di negara ini dan di seragamkan berdasarkan kelas, jenjang pendidikan dan kondisi sosial budaya.
Perubahan kurikulum yang terus menerus ini dapat kita lihat hasilnya. Kurikulum terdahulu yang mengutaman domain Kognitif melahirkan generasi yang secara kognitif sangat ditakuti tetapi afeksinya sangat hancur. Korupsi, kolusi dan nepotisme menjadi masalah utama yang gencar dilawan negara. Dalam K13 ini terdapat beberapa perubahan positif, misalnya menerapkan sistem penilaian terpadu antara ketika domain di atas, metode saintifik, TIK lebih ditekankan sebagai media pembejaran bukan lagi hafalan, bahasa sebagai pengetahuan bukan lebih ditekankan sebagai alat komunikasi, siswa bukan lagi pasif dan lain-lain. K13 ini merupakan solusi untuk menjawab masalah-masalah sebelumnya dan hasil dari penerapan ini mungkin akan dinikmati puluhan tahun kedepan.
Tapi, apakah cukup membenahi pendidikan hanya dengan mengubah kurikulum terus-menerus?
Mengapa perubahan terlalu cepat dalam sistem pendidikan di Indonesia ?
Ketika kita bertanya lebih mendalam tentang hal yang melatarbelakangi paradikama ini, tentu kita akan dapati bahwa proses ini dilakukan pemerintah agar kualitas pendidikan di Indonesia bisa bersaing dengan sistem pendidikan dibeberapa negara. Tahun 2017 kualitas pendidikan Indonesia berada di posisi 108 di dunia dan itu artinya Indonesia masih tertinggal dibanding negara sekawasan seperti Malaysia, Brunei Darussalam dan Thailand. Proses ngebut mengejar ketertinggal ini memang harus di lakukan tetapi kurang akurat, mengapa? Karena pemerintah selalu melihat keluar tetapi tidak melihat kedalam.
Padahal hakikat ilmu itu sendiri tidak statis dan selalu beerkembang. Itu artinya, Indonesia baru satu langkah mereka sudah empat lima langkah sehingga hasilnya menjadi tidak maksimal. Pemerintah sibuk mengejar ketertinggalannya dengan standar-standar pendidikan di dunia Internasional yang terus berkembang tapi tidak melihat masalah-masalah vital dalam perubahan tetapi bersifat Inklusif. Proses berpikir deduktif ini yang berdampak pulah pada sistem pendidikan di Indonesia.
Jadi pertanyaannya, dari proses seperti ini bagaimana kesenjangan dalam bidang pendidikan itu tidak terjadi di Indonesia? Pastilah, di kota-kota besar yang aksesenya lebih terbuka akan lebih mendominasi dari pada daerah-daerah lain. Artinya, di dalam negeri pun Indonesia memandang pendidikan itu sendiri secara deduktif.
Pemerintah mungkin lupa bahwa Indonesia ini negara kepulauan terbesar di dunia. Misalnya, sosialisasi dan penerapan satu rancangan kurikulum dengan baik, benar dan efektif secara menyeluruh di seluruh pelosok negeri saja butuh waktu yang cukup lama tapi belum juga merata sudah diperkenalkan rancangan kurikulum terbaru. Padahal kurikulum itu sendiri hanya salah satu komponen dalam sistem pendidikan.
Proses ini kalau dituangkan dalam sebuah cerita maka akan tempak seperti berikut ini. Sobat bisa klik untuk membacanya.
Pada suatu hari Doris dan Anamee duduk di teras depan. Doris anak kota megapolitian dan mengenal beragam buah dan bahkan Apel sampai anggur pernah dikonsumsinya. Sedangkan Ana Mee anak kampung dan tidak banyak buah di kampunganya. Jangankan Apel dan Agur, mangga saja hanya satu dua pohon. Itu pun jarang berbuah. Doris yang dari kota berlibur, membawa sekilo buah apel dan memberikan satu buah kepada Ana Mee. Karena buah itu tidak ada di kampungnya, Ia bertanya.
"Kawan Buah apa ni?"
"Apel, Jawabnya!"
Keduanya kembali hening. Lalu, Mereka lanjut menikmati buah itu.
Tak lama kemudia, datanglah Silas. Sahabat dekat Ana Mee dari kampung sebelah.
Doris memberikan lagi satu buah kepada Silas. Lalu, silas yang tidak mengenal buah tersebut bertanya lagi kepada Doris.
"Ini bua apa ya?"Sambil sesekali memperhatikan buah aneh yang tergenggan ditangan kanannya.
"Oh..itu apel Kawan!"
Ana Mee masih terus mengunya, sambil menggenggam buah apel yang belahan kirinya sudah habis dilahap.
Belum juga silas mencicipi buah aneh digenggamannya itu.
Doris lajut bertanya.
"Silas, Ko tahu rasa anggur ka?"
Wah Bingung dia untuk menjawabnya. Karena takut dibilang kampungan dan untuk menutupi rasa malunya Silas pun menjawab
"Iya kawan, saya tahu!
Dalam hati Silas bergumam
"Bagaiamana saya tahu rasa anggur? Apel saja baru saya pegang belum juga rasa !
"Sombong Benar orang kota ini!". Gerutu Silas.Dari cerita ini jelas terlihat bahwa muncul sebuah akibat yang cukup patal. Dalam prosesnya, kesalah itu membuat kecurangan muncul dimana-manan untuk memenuhi standar-standar formar itu. Misalnya, dalam UN mau curang atau tidak, bohong atau jujur, pendidikan sebagai sebuah proses berubah menjadi pendidikan sebagai hasil, yang penting semua lulus.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai kumpulan rumus dan teori. Jadi, tertinggal dalam pendidikan berarti juga tertinggal dalam jumlah rumus dan teori. Padahal paradikma ilmiah itu sendiri merupakan sebuah proses bukan semata-mata sebuah produk dan bahkan sistem pendidikan itu sendiri terus berubah karena sifat prakmatis ilmu itu sendiri.
Indeks Pembangunan Manusia 2017 [Image Source] |
Masalah lain yang sering mengganggu sistem pendidikan Indonesia adalah pemecahan masalah pendidikan Indonesia terkesan hanya atomistik/anatomik yang terus menumbuhkan ego dalam setiap disiplin keilmuwan. Masalah terkesan diselesaikan secara sektolar. Paradikama sistemik/holistik terkesan belum nampak. Artinya, yang selama ini berlangsung adalah kalau ingin membenahi pendidikan cukup hanya kurikulum atau prasarana dan sarana saja. Padahal pendididkan itu sebuah sistem.
Pada dasarnya, seotonom apapun suatau bidang disiplin keilmuwan, ilmu pengetahuan itu sendiri merupakan sebuah sistem yang saling berkaitan tanpa meniadakan sifat otonom setiap disiplin keilmuwan. Sejauh ini di Indonsia antara berpikir atomistik dan holistik dalam sistem pendidikan itu sendiri ibarat ilmu pengetahuan dan filsafat. Ilmu pengetahuan yang pergi jauh meninggalkan ibunya, filsafat. Tetapi, seotonom apapun ilmu pengetahuaan ketika ia bertanya tentang hakikat dirinya (ontologi), ia akan kembali pada filsafat itu sendiri. Begitu pun juga, sejauh-jauhnya berpikir atomistik bekerja pada kiktanya ia mengharapkan penyelesaian masalah secara sistemik/holistik. Jalan satu-satunya untuk menyelesaikan sisitem pendidikan di Indonesia adalah kembali pada berpikir sistemik/holitisk. Kalau tidak, semua akan terkesan tambal sulam. Ibarat pengaspalan jalan yang sering kita temui di jalan.
Artinya, untuk membenahi pendidikan tidak bisa hanya dengan membenahi kulikulumnya saja atau tenaga pengajarnya. Perbaikan dan pembenahan harus mencakup tenga pengajar, tenaga admintrasi, kurikulum, prasarana dan sara, biaya pendidikan, nutrisi anak didik, peran orang tua dan lain-lain. Kurikulum yang baik hanya bisa dioperasikan oleh tenaga pendidik yang kompeten, dan proses belajar mengajar hanya bisa berlangsung efektif dan efisien dalam situasi sarana prasaran yang baik dan terkondisi secara sadar dan berkesinambungan.Keseluruhan dari sistem inilah yang pada outpunya akan melahirkan sumber daya manusia yang produktif. Semua komponen-komponen itu saling berkaitan maka tidak cukup dengan penanganan sektoral. Dalam penyelesian secara holistik yang harus dicari bukan hanya keteraturan dan efektivitas tetapi juga efisiensinya. Selain itu, pembenahan harus bersifat inklusif. Pendidikan harus mampu membawah peserta didik bernalar secara ilmiah yang tentunya disesuaikan dengan konteks kebudayaan Indonesia. Pendidikan harus mampu menyentu bagaimananya, bukan apanya?
Kesalahan Paradikma Jakarta melihat Pendidikan di Papua?
Sebelum berbicara tentang kualitas pendidikan di Papua. Hal pertama yang perlu diketahui adalah jumlah sekolah, jumlah siswa dan tenanga pengajar pada setiap jenjang pendidikan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Mengacu pada data Kementerian Pendidikan dan Kebudayan Tahun 2016/2017, data pokoknya dapat dilihat sebagai berikut:- Data Pokok TK
Provisi | Sekolah | Siswa | KS+Guru |
---|---|---|---|
Papua | 591 | 42.591 | 2.015 |
Papua Barat | 352 | 14.230 | 756 |
Total | 943 | 56821 | 2771 |
- Data Pokok Pendidikan Luar biasa
Provisi | Sekolah | Siswa | KS+Guru |
---|---|---|---|
Papua | 12 | 578 | 98 |
Papua Barat | 5 | 179 | 24 |
Total | 17 | 757 | 122 |
- Data Pokok SD
Provisi | Sekolah | Siswa | KS+Guru |
---|---|---|---|
Papua | 2.236 | 408.762 | 15.108 |
Papua Barat | 966 | 133.002 | 6.832 |
Total | 943 | 541.764 | 21.940 |
- Data Pokok SMP Sederajat.
Provisi | Sekolah | Siswa | KS+Guru |
---|---|---|---|
Papua | 596 | 120.260 | 6.764 |
Papua Barat | 280 | 46.581 | 3184 |
Total | 943 | 166.841 | 9.948 |
- Data Pokok SMA
Provisi | Sekolah | Siswa | KS+Guru |
---|---|---|---|
Papua | 217 | 58.152 | 3.674 |
Papua Barat | 116 | 25.510 | 1937 |
Total | 943 | 83662 | 5.611 |
- Data Pokok SMK
Provisi | Sekolah | Siswa | KS+Guru |
---|---|---|---|
Papua | 125 | 28.978 | 2.434 |
Papua Barat | 81 | 12.569 | 972 |
Total | 943 | 41.547 | 3.406 |
Keterangan:
KS+Guru: Kepala sekolah tambah Guru
Dari data yang sama jika kita membandingkan dengan salah satu provinsi di Pulau Jawa, misalnya Jawa Timur dan kedua provinsi di Papua dengan mengacu pada indikator kuantitas Guru dan SMA maka perbandingannya cukup jauh. Gedung sekolah SMA di Jawa Timur mencapai 1.491 dengan jumlah Guru 32.011 orang. Ini hanya salah satu provinsi di Jawa. Perbadingan ini juga tidak termasuk indikator lain, seperti latar belakang pendidikan gurunya, input dan output siswanya, kualitas perguruan tinggi dan lain-lain.
Cara Jakarta melihat Papua terlebih khusus pendidikan di Papua ini terbilang sangat ngawur. Ngawur karena Jakarta berusaha membandingkan pendidikan di Papua dengan Jakarta dan daerah lainnya di Indonesia. Dari sudut pandang sejarah satu catatan penting yang harus diingat adalah sejak zaman Belanda secara kuantitas orang Papua mulai merasakan pendidikan formal ketika memasuki 1960-an. Hal ini tentu berberda dengan wilayah Nederland Indies (Sabang-Ambonina) yang diduduki Belanda selama 350 tahun.
Baca juga: Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Artinya, meskipun beberapa cacatan sejarah membuktikan bahwa pendidikan di Nederland Indies prioritasnya lebih pada kalangan atas, tetapi poin ini bukan satu-satunya indikator yang dapat mempertahankan kebenaran pernyataan bahwa zaman Belanda tidak ada orang Indonesia yang diperkenangkan berpendidikan setinggi mungkin. Karena bagaimana pun juga, beberapa tokoh terkenal di Indonesia merupakan hasil buah tangan pemerintah Belanda.
Dari luas wilayahnya pun perbedaannya sangat jauh. Papua itu mencapai 4 kali luas pulau Jawa jadi sudah pasti membutuhkan proses baik secara kualitas maupun kuantitas. Pulau Jawa saja, untuk mencapai hasil seperti saat ini butuh waktu 350+ Indonesia merdeka 72 tahun = 442 sampai tahun 2017. Lawan yang setara dengan pendidikan di Pulau Jawa adalah kualitas pendidikan di Kuala Lumpur, Siangapura, Tokyo dan lain-lain. Itulah mengapa saya menulis artikel ini dengan judul membandingkan kualitas pendidikan di Papua dengan Pulau Jawa adalah ibarat menimbang Gunung dineraca Sama Lengan.
Pernyatan seperti ini bukan untuk menyangkal buruknya kualitas pendidikan di Papua tetapi untuk menjelaskan bahwa timbangan yang digunakan Jakarta selama ini kurang tepat. Mengapa, karena bagaimanapun juga kontruksi premis yang salah akan melahirkan kesimpulan yang salah pula dan kesimpulan yang salah akan berdampakan pada penerapan dan penanganan yang salah.
Dimana salahnya?
Dari latar belakang kesalah paradikama itu sejauh ini telah kita ketahui bahwa dengan anggapan "kualitas pendidikan di Papua masih tertinggal terbelakang dan kalah jauh dengan provinsi lainnya di Indonesia". Pemerintah mempercepat proses pemerataan dan mmperbaiki kualitas pendidika di Papua dengan berbagai program. Sebut saja, Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM), Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK), Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM3t), Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi (PPGT) Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI) dan lain-lain.
Jika kita bertanya lebih mendalam program-program ini terkesan mengejar bayangan sendiri. Mengapa? karena yang utama adalah hasil. Pendidikan itu sendiri sebagai proses tidak ada sama sekali. Ketika ratusan anak Papua masuk SMPTN dengan program-program ini, berita ramai-ramai membahas kesuksesan kuantitas itu."Tahun ini sekian ratus anak Papua masuk SMPTN ternama". Tapi konsekuensinya, banyak yang lolos masuk SMPTN tetapi banyak pula yang tidak menyelesaian pendidikan dengan baik karena pondasi yang membangun mereka kualitasnya bermasalah. Jadi, bicara kualitas tetapi yang ditonjolkan adalah kuantitas.
Tidak berhenti sampai di situ, paradikma ini turut mempengaruhi pemerintah daerah. Pemerintah menerapkan berbagai program dengan asumsi dasar bahwa "Banyak anak Papua yang sekolah, Banyak Guru, dan banyak gedung sekolah akan meningkatkan kualitas pendidikan di Papua". Okelah hal itu langkah awal menju kualitas itu sendiri tetapi saat ini kuantitasnya saja sangat bermasalah.
Selain jumlah sekolah, Guru dan siswa yang sudah dibandingkan di atas, sekitar 80 persen guru (khususnya guru SD dan SMP) yang ada di Papua, khususnya di pedalaman adalah guru-guru produk paradigma pendidilan lama (antara tahun 70-an sampai 90-an). Sudah begitu, mereka disibukkan dengan standar-standar yang bergerak begitu cepat. Kasus seperti inilah yang penulis analogikan dalam cerita di atas. Belum lagi kurangnya perhatian dan dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi di Papua yang berdampak pada akreditasi.
Dari hasil kajian cepat ILO EAST menemukan dalam 16 persen studi kasus yang dilakukan "alasan memasuki pekerja anak adalah kebutuhan anak untuk membayar biaya sekolah. Anak-anak asli Papua yang berasal dari daerah terpencil banyak yang memutuskan untuk pindah ke kota-kota besar, agar dapat memperoleh akses dan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Namun ketika mereka berada di kota, mereka kemudian terlibat menjadi pekerja anak agar dapat membiayai sekolah mereka. Dari hasil semacam ini terlihat bahwa pendidikan di Papua pada tarap kuantitas saja sudah cukup serius, belum memasuki masalah kualitas.
Pada hal sistem ekonomi, politik kesehatan dan lain-lain dalam pemerintahan itupun harus di atur oleh orang yang berkualitas dalam pendidikan. Kasus semacam ini menjukkan bahwa di Papua seakan pendidikan tidak mampu bebuat banyak hal. Bukan hanya itu, Guru-guru asli Papua yang sudah mengapdi lama di pedalam Papua, banyak yang ditarik kepemerintahan hasil pemerakan itu karena tidak ada Sumber Daya Manusia. Hal inilah yang Dihai maksud, paradikma hasil lebih penting dari pada proses dari sistem yang berdampak pada faktor inklusif, pendidik dan yang didik.
Kita sekarang lihat, generas yang sudah berpendidikan mulai melupakan kebudayaan Papua yang bernilai positif tetapi cenderung dipengaruhi kebudayaan luar, patola misalnya. Hal semacam ini adalah hegemoni kacang lupa kulit. Dalam artikel ini saya bisa berasumsi bahwa panyak generasi Papua yang sudah tidak mengetahui bahasa Ibunya maka jangan salah beberapa bahasa di Papua sudah punah dan terancam punah. Sumber Daya Alam Papua dinikmati oleh orang lain dsb. Itu semua ada konsekuesi dari lemahnya sumber Daya Manusia Papua. Benar kata Nelson Mandela"Pendidikan adalah senjata paling ampu untuk mengubah dunia". Kita tidak bisa melihat rantai tak kasat mata tanpa kualitas pendidikan yang baik.
Pengadaan prasarana dan sarana pun harus mampu diukur bukan hanya secara kuantitas tetapi juga kualitas. Kurikulum yang baik, manajemen pendidikan yang baik, kecanggihan teknologi penunjang pembelajaran hanya bisa dioperasikan oleh kualitas guru yang kompeten.
Sistem pendidikan yang baik tanpa kesehatan dan ekonimi yang terjamin juga tidak mungkin berjalan sesuai rancangan. Gaji guru dan perhatian pada guru harus optimal. Biaya pendidikan harus bisa terjangkau kalangan bawah. Dalam proses seperti ini pendektan yang kita butuhkan adalah pendektan multidisidisipliner. Mengapa? supaya bisa mengatasi ego setral yang membudaya selama ini.
Baca juga: Sejarah Papua Nugini dan Papua Barat
Artinya, meskipun beberapa cacatan sejarah membuktikan bahwa pendidikan di Nederland Indies prioritasnya lebih pada kalangan atas, tetapi poin ini bukan satu-satunya indikator yang dapat mempertahankan kebenaran pernyataan bahwa zaman Belanda tidak ada orang Indonesia yang diperkenangkan berpendidikan setinggi mungkin. Karena bagaimana pun juga, beberapa tokoh terkenal di Indonesia merupakan hasil buah tangan pemerintah Belanda.
Dari luas wilayahnya pun perbedaannya sangat jauh. Papua itu mencapai 4 kali luas pulau Jawa jadi sudah pasti membutuhkan proses baik secara kualitas maupun kuantitas. Pulau Jawa saja, untuk mencapai hasil seperti saat ini butuh waktu 350+ Indonesia merdeka 72 tahun = 442 sampai tahun 2017. Lawan yang setara dengan pendidikan di Pulau Jawa adalah kualitas pendidikan di Kuala Lumpur, Siangapura, Tokyo dan lain-lain. Itulah mengapa saya menulis artikel ini dengan judul membandingkan kualitas pendidikan di Papua dengan Pulau Jawa adalah ibarat menimbang Gunung dineraca Sama Lengan.
Paradikama Jakarta ini terkesan seperti kaum relativisme atau antirealisme dalam filsafat yang mencoba menimbang filsafat dengan ilmu pengetahuan. Padahal Ilmu pengetahuan itu sendiri bukan bermaksud memberi kebenaran mutlak melainkan dalam probabilitas memberikan pegangan kepada manusia sebagai alat yang mempermudah dan membantunya mengatasi masalah-masalah yang dihadapi cara praktis dan prakmatis.
Pernyatan seperti ini bukan untuk menyangkal buruknya kualitas pendidikan di Papua tetapi untuk menjelaskan bahwa timbangan yang digunakan Jakarta selama ini kurang tepat. Mengapa, karena bagaimanapun juga kontruksi premis yang salah akan melahirkan kesimpulan yang salah pula dan kesimpulan yang salah akan berdampakan pada penerapan dan penanganan yang salah.
Dimana salahnya?
Dari latar belakang kesalah paradikama itu sejauh ini telah kita ketahui bahwa dengan anggapan "kualitas pendidikan di Papua masih tertinggal terbelakang dan kalah jauh dengan provinsi lainnya di Indonesia". Pemerintah mempercepat proses pemerataan dan mmperbaiki kualitas pendidika di Papua dengan berbagai program. Sebut saja, Afirmasi Pendidikan Menengah (ADEM), Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADIK), Sarjana Mendidik di Daerah 3T (SM3t), Pendidikan Profesi Guru Terintegrasi (PPGT) Program Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia (MBMI) dan lain-lain.
Jika kita bertanya lebih mendalam program-program ini terkesan mengejar bayangan sendiri. Mengapa? karena yang utama adalah hasil. Pendidikan itu sendiri sebagai proses tidak ada sama sekali. Ketika ratusan anak Papua masuk SMPTN dengan program-program ini, berita ramai-ramai membahas kesuksesan kuantitas itu."Tahun ini sekian ratus anak Papua masuk SMPTN ternama". Tapi konsekuensinya, banyak yang lolos masuk SMPTN tetapi banyak pula yang tidak menyelesaian pendidikan dengan baik karena pondasi yang membangun mereka kualitasnya bermasalah. Jadi, bicara kualitas tetapi yang ditonjolkan adalah kuantitas.
Contoh ketidak seimbanga dalam dunia penerbangan misalnya. Tahun 2018 ini misalnya tercatat 1.200 pilot mudah Menganggur di Indonesia. Konteks Papua misalnya Meki Frit Nawipa yang juga merupakan Kapten Pilot menyatakan kebanyakan Pilot Papua belum mendapatkan pekerjaa, karena persaingan di dunia kerja. Padahal Biaya pendidikan seorang pilot menyentuh lagi. Pemerintah Papua malah menambah stok Mahasiswa Penerbangan.Tahap awal seleksi kelulusan diprogram-program itu hanya kualitas terbaiklah yang akan dinyatakan lolos. Artinya, dengan indikator yang ada akan diakumukasi secara kuantitas. Di sini jelas bahwa latar belakang kualitas pendidikan dimana siswa belajar menjadi faktor penentu pencapaian santandar kelulusan itu. Artinya, hanya siswa dengan latar belakang pendidikan yang baiklah yang layak lulus dalam beberapa program pemerintah di atas. Poin ini memandahkan bahwa antara kualitas dan kuantitas dalam tubuh pendidikan itu sendiri sangat tidak seimbangan dan bahkan jauh dari kata hampir seimbang.
Catatan penting: Di Jawa secara kuantitas anggaplah sudah mendekati terpenuhi, mulai dari akses, jumlah Guru, jumlah sekolah, siswa dan lain-lain yang menunjang terselesnggaranya pendidikan. Mereka saat ini berbicara bagaimana kualitasnya. Papua jangankan kualitas pendidikan, kuantitasnnya saja masih seperti sudah dijelaskan, terus kualitas apa yang diharap dari kondisi seperti ini. Itu sama halnya dengan menginginkan hasil 2+2 menjadi 5. Kondisi inilah yang saya maksud kesalahan paradikma.Jadi dari pembahasan di atas ini dapat di rumuskan empat poin masalah pendidikan di Papua:
- Kesalahan paradikma pada sistem pendidik Indonesia. Mengejar ketertinggalan dalam bidang pendidikan yang terus berkembang dengan mengutamakan hasil dari pada proses. Melihat keluar tetapi tidak melihat kedalam juga turut berdampak di Papua.
- Penyelesaian masalah pendidikan di Papua terkesan sektoral/atomistik belum holistik/sistemik.
- Dalam penangan mengutamakan kuanlitas daripada kuantitas sehingga tidak terjadi keseimbangan antara keduanya. Pada hal di Papua dan beberapa daerah lain secara kuantitas saja sudah bermasalah, tapi yang dituntut Jakarta adalah kualitas.
- Faktor inklusif dari pendidik dan yang dididik serta kondisi geografis Papua Papua yang luas dan sulit dijangkau
Bagaimana Kondisi Pendidikan di Papua?
Tidak berhenti sampai di situ, paradikma ini turut mempengaruhi pemerintah daerah. Pemerintah menerapkan berbagai program dengan asumsi dasar bahwa "Banyak anak Papua yang sekolah, Banyak Guru, dan banyak gedung sekolah akan meningkatkan kualitas pendidikan di Papua". Okelah hal itu langkah awal menju kualitas itu sendiri tetapi saat ini kuantitasnya saja sangat bermasalah.
Selain jumlah sekolah, Guru dan siswa yang sudah dibandingkan di atas, sekitar 80 persen guru (khususnya guru SD dan SMP) yang ada di Papua, khususnya di pedalaman adalah guru-guru produk paradigma pendidilan lama (antara tahun 70-an sampai 90-an). Sudah begitu, mereka disibukkan dengan standar-standar yang bergerak begitu cepat. Kasus seperti inilah yang penulis analogikan dalam cerita di atas. Belum lagi kurangnya perhatian dan dukungan pemerintah terhadap perguruan tinggi di Papua yang berdampak pada akreditasi.
Para Guru ini tidak bisa disalahkan karena bagaimapun juga kualitas pedidikan di Papua sedikit terlihat ini pun sumbangsi dari mereka. Guru-guru hasil produksi dari sistem berparadikama baru tidak mau menderita dibelantara Papua demi Generasi Papua. Mungkin, semakin tinggi kualitas pendidikan maka kualitas hidup yang diimpikan juga semakian tinggi.Disana terdapat puluhan kasus, satu gedung sekolah yang megajar hanya dua tiga guru dan bahkan ada juga daerah yang tidak terdapat gedung sekolah sehingga banyak anak-anak Papua yang harus menapaki puluhan kilometer untuk bersolah. Bagi generasi Papua yang sadar akan pentinganya pendidikan tetapi dengan rata-rata pendapatan orang tua yang hanya petani kebun dan nelayan mereka harus merantau dan bekerja sendiri disamping sumbangsi orang tua. ILO EAST yang berkerja sama dengan Komite Aksi Kabupaten Jayapura pada tahun 2009 saja telah berhasil mengangulangi 52 kasus pekerja anak di Jayapura.
Dari hasil kajian cepat ILO EAST menemukan dalam 16 persen studi kasus yang dilakukan "alasan memasuki pekerja anak adalah kebutuhan anak untuk membayar biaya sekolah. Anak-anak asli Papua yang berasal dari daerah terpencil banyak yang memutuskan untuk pindah ke kota-kota besar, agar dapat memperoleh akses dan kesempatan pendidikan yang lebih baik. Namun ketika mereka berada di kota, mereka kemudian terlibat menjadi pekerja anak agar dapat membiayai sekolah mereka. Dari hasil semacam ini terlihat bahwa pendidikan di Papua pada tarap kuantitas saja sudah cukup serius, belum memasuki masalah kualitas.
Itu baru yang berjuang untuk bersekolah. Pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik mencatat bahwa di Papua lebih dari 50% anak usia sekolah (0-19) tidak mendapatkan pendidikan.Sementara itu, yang sekolah pun paradikma hasil lebih penting dari proses itu mencuat hingga ke generasi mudah Papua. Dengan adanya pemekaran daerah yang terus ditingkatkan paradikama pergi kesekolah hanya untuk menjadi pagawai negeri Sipil/Militer dan Angota Dewan berbekal ijaza SMA terus membudaya. Ini juga salah satu faktor, mengapa di Papua angka tidak lanjut sekolah sangat tinggi. Orang tua siswa menghapkan anaknya menjadi pegawai pemerintah karena beban yang dipikulnya semakin hari semakin berat.
Pada hal sistem ekonomi, politik kesehatan dan lain-lain dalam pemerintahan itupun harus di atur oleh orang yang berkualitas dalam pendidikan. Kasus semacam ini menjukkan bahwa di Papua seakan pendidikan tidak mampu bebuat banyak hal. Bukan hanya itu, Guru-guru asli Papua yang sudah mengapdi lama di pedalam Papua, banyak yang ditarik kepemerintahan hasil pemerakan itu karena tidak ada Sumber Daya Manusia. Hal inilah yang Dihai maksud, paradikma hasil lebih penting dari pada proses dari sistem yang berdampak pada faktor inklusif, pendidik dan yang didik.
Kita sekarang lihat, generas yang sudah berpendidikan mulai melupakan kebudayaan Papua yang bernilai positif tetapi cenderung dipengaruhi kebudayaan luar, patola misalnya. Hal semacam ini adalah hegemoni kacang lupa kulit. Dalam artikel ini saya bisa berasumsi bahwa panyak generasi Papua yang sudah tidak mengetahui bahasa Ibunya maka jangan salah beberapa bahasa di Papua sudah punah dan terancam punah. Sumber Daya Alam Papua dinikmati oleh orang lain dsb. Itu semua ada konsekuesi dari lemahnya sumber Daya Manusia Papua. Benar kata Nelson Mandela"Pendidikan adalah senjata paling ampu untuk mengubah dunia". Kita tidak bisa melihat rantai tak kasat mata tanpa kualitas pendidikan yang baik.
Apa solusinya masalah pendidikan di Papua?
Dari hal semacam ini pemerintah seharusnya tidak hanya mengejar jumlah tetap sejak langkah awal merancang pemecahan masalah secara holistik. Artinya, pemerintah tidak perlu berpikir bagaiamana menciptakan, puluhan Pilot atau puluahan pemimpin Papua karena apa yang dibangun dari pondasi yang tidak kuat akan kontra produktif alias menambah pengangguran. Hal-hal lebih inklusif dari perubahan kualitas itu sendiri adalah menciptakan tenaga pendidik yang berkualitas dalam jumlah yang mampu mengimbangi tingkat kebutuhan penyelenggaraan pendidikan.Pengadaan prasarana dan sarana pun harus mampu diukur bukan hanya secara kuantitas tetapi juga kualitas. Kurikulum yang baik, manajemen pendidikan yang baik, kecanggihan teknologi penunjang pembelajaran hanya bisa dioperasikan oleh kualitas guru yang kompeten.
Sistem pendidikan yang baik tanpa kesehatan dan ekonimi yang terjamin juga tidak mungkin berjalan sesuai rancangan. Gaji guru dan perhatian pada guru harus optimal. Biaya pendidikan harus bisa terjangkau kalangan bawah. Dalam proses seperti ini pendektan yang kita butuhkan adalah pendektan multidisidisipliner. Mengapa? supaya bisa mengatasi ego setral yang membudaya selama ini.
Orang kesehatan akan bilang Papua tertinggal karena kesehan, yang pendidikan akan berbicara kualitas pendidikan di Papua yang tertinggal, begitu juga pemerintahan akan bilang sistem pemerintahan yang kurang bagus dan lain-lain. Poin inilah yang Dihai maksud berpikir anatomik dan sektoral. Padahal tanpa disadari semuanya ini saling berkaitan dan saling mempengaruhi.Pendidikan harus mampu melihat masalah-masalah yang lebih inklusif. Pendidikan tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang pendidikan itu sendiri. Pendidikan berkaitan dengan kesehatan, ekonomi, lingkungan sososial dan budaya dan dan lain-lain.
Papua memiliki bahan baku berupa generasi yang siap belajar, Papua meliki SDA yang siap di olah tetapi Papua tidak memiliki sistem pendidikan yang diterapkan secara seimbang untuk membentuk SDM yang berkualitas. Di Jawa mereka berbicara kualitas pendidikan karena secara kuantitas hampir mencukupi. Kita di Papua kuantitas penjungan pendidikan pun masih sangat terbatas. Hiraukan Jakarta yang memandang Papua dari kacamata mereka dan mulailah pembenahan hal-hal mendasar. Proses ini akan terkesan lambat tetapi hasilnya lebih baik dari pada kita berpikir berjumlah. Saat ini mungkin jumlah menjadi daya tawar tetapi di waktu mendatang kualitas, efektifitas dan efisiensi merupankan daya jual.
Sumber Acuan Artikel dicantumkan seperlunya.
[1[. Suriasumantri, S. Jujun Filsafat Ilmu (Sebuah Apresiasi terhadap Ilmu, Seni dan Agama).2015. Cetakan ke 25. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
[2]Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Pusat Data Dan Statistik Pendidikan Dan Kebudayaan. 2017. Ikhtsar Data Pendidikan. Jakarta:Kemendikbud.
[2]Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan Sekretariat Jenderal Pusat Data Dan Statistik Pendidikan Dan Kebudayaan. 2017. Ikhtsar Data Pendidikan. Jakarta:Kemendikbud.
[3] Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara RI Tahun 2003, No. 4301. Sekretariat Negara. Jakarta.
Comments
Post a Comment