Suku biak adalah salah satu suku dari Papua yang mayoritas mendiami Kepulauan Biak-Numfor yang terdiri dari tiga pulau besar dan beberapa pulau kecil. Pulau Biak, Pulau Supiori dan Pulau Numfor. Selain ke empat tempat ini, suku ini juga tersebar di pulau Padaido, Rani, Insumbabi, Meosbefandi, Ayau, Mapia, Doreri, Manokwari, Ransiki, Oransbari, Nuni, Raja Ampat dan wilayah lainnya.
Sejak abad 14-15 suku ini dikenal sebagai suku pelaut dan perampok yang paling ditakuti dikawasan perairan Papua dan bahkan dalam catatan sejarah mereka diketahui pernah berlayar sampai kelaut Jawa. Suku ini juga dikenal sebagai salah satu suku perantau di Papua. Pembahasan tentang suku Biak, sobat bisa baca lebih lajut pada artikel ini: 8 Fakta Tentang Suku Biak di Papua yang Belum Anda Ketahui ! 8 Fakta Tentang Suku Biak di Papua yang Belum Anda Ketahui. Itulah sebabnya, sobat dapat bertemu dengan orang biak dihampir seluruh pelosok Papua.
Dari ke 8 poin di atas ini ada beberapa hal yang belum sempat dibahas penulis. Pembahasan kali ini akan diulas secara singkat seputar unsur-unsur kebudayaan suku Biak ditinjau dari segi adat istiadat Suku Biak dengan mengacu pada beberapa sumber sekunder.
1. Empat Tahap Upacara Adat Pernikahan Suku Biak
Dalam Adat Istiadat Suku Biak "Farkawawin “ adalah proses perkawinan yang dimulai dari adanya kesepakatan dari sepasang sejoli yang ingin hidup bersama dalam ikatan perkawinan kemudian memberitahu kepada pihak orang tua dan dimulai dengan proses membayar mas kawin dari pihak lelaki kepada pihak perempuan sampai memasuki hari perkawinan.
#Peminangan dari Pihak Laki-laki
Tahap pertama si laki-laki bersama keluarganya (paman dan tante) melakukan pendekatan ke pihak perempuan (keluarga dari Si cewek) untuk menyampaikan niat keluarga mereka. Selanjutnya, pihak perempuan akan beruding dengan anggota keluarga perempuan lainnya yang diberi hak istimewa alias hak khusus, yang biasa disebut "Binaw "
Jadi orang tua kandung Si perempuan tidak punya hak untuk memutuskan sendiri kemauannya. Mengapa? Karena soal maskawim bagi suku biak adalah hak keluarga (Hak marga).
#Pembayaran dan Kesepakatan Maskawin
Tahap berikutnya adalah pembayaran maskawin atau yang dikenal dengan " tradisi Ararem". Pada tahap ini kedua belah pihak menyepakati nominal nilai maskawin. Pada umumnya besarnya maskawin disesuaikan dengan beberapa indikator, seperti status sosial dari pihak perempuan (Kepala marga, memilik status terhormat dalam adat) atau kecantikan, kepribadian, dan kemurnian si gadis.
Bila maskawin telah disiapkan dari pihak laki-laki. Pihak perempuan diundang dan diberi kesempatan untuk meninjau terlebih lebih dahulu. Jika sudah memenuhi syarat dan sesuai kesepakatan, kedua belah pihak menetapkan waktu upacara penyerahannya.
Pembagian maskawin dari pihak perempuan
Dari pihakperempuan akan membagi maskawin tersebut menjadi dua bagian. Pertama bagian maskawin untuk lepas gendong atau yang disebut Abobes kapar. Bagian ini khusus untuk orang tua Ibu dan pihak keluarganya. Sebagiannya lagi, akan disimpan sebagai modal maskawin saudara laki-laki jika kelak kawin lagi.
Bagian kedua adalah maskawin untuk marga atau keret yang disebut maskawm inti “Baken”. Bagian ini akan dibagi habis untuk seluruh anggota keluarga keret (marga) dengan jumlah yang berbeda mulai dari uang sampai dengan barang (piring) sesuai status anggota keluarga.
Penyerahan maskawin dari pihak laki-Laki
Tradisi Antar Maskawin [image:Source] |
Pada tahap ini maskawin diantar kekeluarga perempuan melalui suatu upacara arak-arakan yang disertai tarian dan lagu Biak dalam suasana yang cukup meriah. Proses ini menunjukkan bahwa mereka siap atau mampu membayar maskawin Si perempuan dan juga sebagai pemberitahuan langsung kepada masyarakat bahwa kedua pasangan tersebut sudah direstui dan siap disatukan.
Proses penyerahan Maskawin atau Yakyaker Ararem dari pihak laki-laki pun terbagi atas dua bagian. Barisan pertama pihak ibu dari laki-laki dan beberapa keluarga inti bertanggungjawab menyerahkan bagian dari maskawin yang disebut “Abobes Kapar” kepada ibu kandung Si perempuan. Sedangkan barisan kedua yang terdiri dari anggota keret /marga dan anggota keret lain yang memiliki hubungan kekerabatan dari Si laki-laki, bertangungjawab menyerahkan maskawin“Baken” (Inti).
#Pernikahan alias Wafwofer
Pada tahap ini segala sesuatu yang menyangkut kepentingan kedua belah pihak sudah terpenuhi sesuai ketentuan yang belaku dalam maskawin adat biak dan dilajutkan dengan upacara adat yang disebut Ramrem untuk mendapat restu dari masing-masing pihak. Setelah tahap ini, masuk pada upacara pernikahan (Waiwofer) yang dilakukan oleh seseorang tua adat atau seseorang mananwir kepala keret dengan cara meniup asap rokok keatas tangan calon suami-isteri yang sedang berjabat tangan sambil mengucapkan kata-kata pengukuhan nikah adat. Dengan selesainya upacara pernikahan ini, kedua mempelai dinyatakan sah sebagai suami-istri.
#Penyerahan Perempuan kesuaminya Yakyaker
Pada tahap akhir ini setelah upacara nikah (Wafwofer) selesai dilaksanakan. Pihak keluarga membawa pulang perempuan (calon isteri) kembali kerumah keluarga. Setalah itu, keluarga pihak perempuan sudah menyiapkan harta benda keluarga berupa “Perabot rumah tangga” sebagai bekal si Perempuan dikeluarga barunya dan dilangsungkan dengan upacara penyerahan kembali perempuan tersebut kepada laki-laki (calon suami) dan diterima oleh pihak keluarga laki-laki. Upacara adat ini disebut “Munara Yakyaker Purbakbuk“, yang berarti mengantar pengantin perempuan ke rumah pengantin laki-laki yang sekaligus merupakan simbol Si perempuan tersebut secara resmi menjadi milik Si laki-laki untuk selama-lamanya dengan status isteri sah.
Catatan: Dalam beberapa kondisi, pasangan yang baru menikah bisa saja menetap di rumah orang tua istri. Penyebabnya adalah Sang suami dari keluarga yang baru terbentuk itu harus membangun rumah atau membantu pekerjaan dari orang tua isterinya sebagai pengganti maskawin yang belum lunas dibayar. Setelah pekerjaan itu selesai, tunjangan waskawin dianggap lunas maka mereka berhak menetap di daerah asal suaminya.
Dalam jurnal berjudul"Kearifan Lokal Budaya Farkawawin Suku Biak Di Desa SyabesKecamatanYendidori Kabupaten Biak Numfor (2017)" menyatakan bahwa budaya Farkawawin ini memiliki beberapa nilai positif yang patut dilesatarikan tetapi dalam perkembangannya telah terjadi banyak penyimpangan baik dalam tujuan maupun dalam substansi nilai budaya itu sendiri.
2. Suku Biak Mengenal Enam Jenis Perkawinan
Dalam adat Istiadat suku Biak secara umum terdapat 6 jenis perkawinan:
Perkawinan Murni atau Farbakbuk Bekaku
Perkawinan ini sangat dihormati masyarakat biak karena tahap awal, pertengahan, maupun akhir perkawinan memenuhi syarat-syarat utama norma adat dalam suku Biak, sebagaiaman penjelasan di atas. Itulah sebabnya, proses pernikahan ini menempati status sangat diterhormat.
Perkawinan Kenalan atau Farbakbukmanibow
Jenis perkawinan ini merupakan niat atau kesepakatan orang tua dari kedua belah pihak. Proses ini merupakan bentuk atau wujud dari keakraban kedua belah pihak yang saking akrab dan sering saling membantu sehingga mereka saling berjanji untuk mengawinkan kedua anaknya kelak sebagai tanda keakraban dan persahabatan. Biasanya pembayaran maskawin dan lain-lain berbeda dengan proses pernikahan Farkawawin di atas.
Kawin Lari atau Parbakbuk Bebur
Jenis perkawinan ini terjadi bila orang tua dari kedua belah pihak atau salah pihak tidak menyetujui hubungan asmarah kedua sejoli. Mereka berinisitaif untuk lari dari rumah dengan segudang resiko. Jika pihak orang tua perempuan sudah menodohkan Si perempuan dengan cowok pilihan orang tuannya maka Si cewek akan memilih kawin lari dengan cowok pilihannya. Proses ini disebut "Farbakbuk Bin Berbur" atau perempuan yang lari kawin. Tapi kalau perempuan tidak berani melarikan diri bersama laki-laki dan Si laki-laki berinisiatif merampas wanita tersebut dari keluarganya untuk dijadikan istri, maka perkawinan ini disebut "Farbakbuk Pasposer" atau perkawinan karena perampasan.
Perkawinan Pengganti Tungku atau Farbakbuk Kinkafsr
Jenis perkawinan yang satu ini cukup unik karena diberlakukan khusus untuk seorang pria yang istri pertamanya meninggal (wafat). Dalam adat masyarakat Biak, menyetujui (diperbolehkan) adik kandung dari istri pria tersebut kawin dengan kakak iparnya jika si adik ipar tersebut sudah menginjak usia kawin. Hal ini dilakukan agar proses kekeluargaan terus berlangsung. Prosesnya tidak dirancang tetapi langsung menjadi istri dan tidak ada unsur pemaksaan maka maskawinnya pun terserah kepada kemampuan pihak laki-laki.
Perkawinan Pengganti Korban Pembunuhan atau Farbakbuk Babyak
Masyarakat Biak menyebutnya dengan perkawinan luar biasa. Wanita diberikan oleh keluarga pihak pelaku pembunuhan kepada pihak keluarga korban sebagai pengganti.Maksudnya, ketika perempuan tersebut kawin ia dapat melahirkan anak sebagai pengganti. Selain itu proses ini bertujuan untuk mengikat hubungan kekeluargaan diantara kedua keluarga yang bersangkutan dan menghilangkan marah serta dendam.
Perkawinan Hadiah Perampasan Budak atau Tarbakbuk Women
Perkawinan berlangsung pada masyarakat Biak “tempo doeloe” saat ini sudah tidak ada. Proses perkawinan ini biasanya diatur tua-tua adat dalam kampung dan menjadi kewenangan mereka menentukan dan menikahkan Si perempuan tersebut. Hal ini karena karena Si perempuan tidak memiliki orang tua wali.
3. Upacara Adat atau Wor
Wor Barapen/Berjalan di atas batu panas[image:source] |
Mengacu pada jurnal berjudul "Transformasi Upacara Adat Papua:Wor dalam Lingkaran Hidup Orang Biak" menyebutkan bahwa masyarakat Biak mengenal upacara adat yang biasanya disebut dengan WOR yang juga sebagai bagian perwujudan dari kehidupan religius suku biak. Arti kata Wor sendiri memiliki dua makna: Wor sebagai upacara adat dan juga sebagai nyanyian adat dilihat dari aspek pendukungnya. Sebelum kristenisasi, upacara ini biasanya bersifat wajib dikalangan suku Biak dalam suatu keluarga besar. Wor sebagai upacara adat merupakan upacara untuk memohon, mengundang atau meminta perlindungan kepada penguasa alam semesta.
Fungsi upacara adat Wor bagi orang biak sebagai berikut:
- Sebagai sarana mendekatkan diri kepada penguasa/Manggundi
- Sarana untuk mengatasi krisis
- Sarana untuk pengendalian sosial
- Sarana untuk mempererat hubungan sosial antara kerabat yang sudah ada
- Mengikat solidaritas dalam kelompok dalam hal memupuk rasa kebersamaan hidup kelompok orang Biak
Secara keseluruhan upacara tradisional atau Wor dalam suku Biak terdiri dari 17 jenis yang dibagi kedalam dua sub bagian (a). 12 upacara Wor siklus hidup dan (b). 5 upacara Wor insidental.
Wor siklus hidup ini merupakan upacara adat yang dilakukan untuk melindungi seorang anak dari segala macam gangguan yang dimulai dari masa Janin sampai dengan upacara kematian Wor Farbabei.
Wor insidental merupakan ucapan syukur dalam agama tradisioanal suku Biak yang dipanjatkan dalam suatu situasi atau keadaan yang dihadapi secara kelompok. Keadaan ini bisa situasi/keadaan rasa bahagia atau saat kritis dalam tekanan dan terdesak.
Seluruh upacara ini diiringi lagu dan tari suku biak sebagai bagian dari penghormatakan kepada para leluhur mereka dan juga sebagai simbol hubungan mereka dengan Penguasa (Manggundi). Itulah sebabnya, upacra Wor ini sangat sakral bagi suku Biak.
4. Kepercayaan Tradisional Suku Biak
Pada bagian poin 3 sudah dijelaskan bahwa upacara Wor merupakan perwujudan kehidupan religius yang diaplikasikan dalam bentuk upacara adat maka pada poin ini akan dijelaskan tentang kepercayaan tradisional suku Biak. Sejak dahulu suku ini menyembah Tuhan ’Manseren Koreri’ yang disebut ’Manarmakeri’. Menurut kepercayaan tradisioanal Manarmakeri mampu membuat banyak mujizat maka kemudian ia dipuja sebagai juru selamat.
Catatan: Tapi.. sejak masuknya beberapa agama samawi di Papua. Mayoritas suku Biak sudah menganut agama Kristen Protestan, kemudian Khatolik dan diikuti dengan Islam.
Menurut Mite tokoh mitologi mereka yang disebut "Manarmakeri" ini pergi ke sebelah barat dan suatu saat akan kembali untuk memberikan kebahagian atau kekayaan bagi mereka yang telah lama ditinggalkan. Alasan kepergian Manarmakeri, karena ia tidak diterima oleh masyarakatnya sendiri (orang Biak).
5. Tarian dan Senjata Tradisional Suku Biak
Suku Biak memiliki beberapa tarian tradisional yang cukup unik. Tarian itu seperti tari Kankarem atau tari pembuka, tari Mamun atau tari Perang, tari Akyaker atau "Tari Perkaw" dan masih banyak lagi yang biasanya ditarikan dalam iringan lagu-lagu wor Biak. Dalam tarian ini biasanya para penari menggenggam satu senjata tradisional misalnya, tombak, busur atau kalawai.
Ada juga Tarian suku biak yang disebut "Mansorandak". Tari ini merupakan tarian penjemputan. Jadi, biasanya dilangsungkan untuk menyambut kedatangan seseorang yang telah lama merantau. Dalam prosesnya, tarian ini melibatkan hampir semua anggota keluarga.
Memasuki tahun 1960-an munculah tari Yospan alias Yosim Pancar yang sangat populer saat itu sampai dijadikan senam kesehatan jasmani di sekolah, khususnya di Papua. Tari ini biasanya ditarikan dalam acara penjemputan pejabat yang mengadakan kunjungan ke kampung tertentu upacara keagamaan, hari besar pemerintah atau Event tari antar daerah di Papua.
Senjata tradisional suku Biak dapat dibagi kedalam tiga jenis. Pertama Busur dan anak panah. Senjata tradisional ini digunakan untuk berperang dan berburuh. Kedua kalawai. Biasanya dibuat dari bambu atau besi yang memiliki lebih dari 2 hulu runcingan pada ujungnya. Senjata ini berfungsi untuk berburuh atau melempar ikan di laut. Tombak senjata tradisional yang terbuat dari kayu yang dibagian ujungnya disematkan sepihan besi yang sangat tajam. Senjata tradisional ini biasa digunakan untuk berburu atau berperang.
6. Rumah Adat dan Perahu Suku Biak
Suku Biak memiliki beberapa rumah adat yang disesuaikan dengan sistem sosial dalam adat istiadatnya. Rumah-rumah itu cukup unik kalau dilihat dari bentuknya. Secara umum rumah adat itu dapat dibagi kedalam tiga bentuk: Pertama Rumah Mengambang (Rumsom), Kedua Rumah Duduk Sebelah (Rumlmmbar) dan yang ketiga Rumah Pendidikan atau Pemuda (Rumsram). Ketiga bentuk rumah ini dapat dibedakan dari bentuk dan fungsinya. Hal lain yang membuat rumah adat suku Biak ini unik karena sebelum mendirikan, tahap pembangunan dan diakhir pendirian rumah dipanjatkan ritual-ritual magis. Hiasan dalam isi rumah pun memiliki pesan tersendiri.
Sedangkan dari fungsinya dapat dibagi kedalam dua bentuk: Rumah yang dibangun khusus untuk dihuni oleh anak laki-laki yang beranjak dewasa (Rum Sram) dan Rumah keluarga yang didalamnya dihuni oleh Ayah, Ibu, dan anak laki-laki yang sudah beristri, disebut (Rum Som).
Rumsram dibangun dengan atap daun sagu yang dililit sedemikian rupa sehingga aman dari hujan dan dindingnya terbuat dari pelepah sagu. Atap Rum Som menyerupai kulit penyu, permukaan depannya menjulur keluar dan memberi kesan “mengambang” karena tidak ditopang oleh tiang penyangga.
Tapi sayangnya, saat ini rumah adat biak sudah jarang ditemukan di kota Biak. Kalau sobat tertarik bisa mengujungi Desa padwa di Biak dan itupun jumlahnya cukup terbatas alias tidak lebih dari delapan.
Selain rumah-rumah di atas, terdapat juga jenis rumah tradisional biak yang disebut Rumkambar, Sram mangkubui, Sram lola, Sram pegas, dan Sramtoko. Dahulu rumah panggung dibangun beberapa meter dari bibir pantai supaya bisa menghalangi serangan musuh dari daratan dan mudah mencapai daratan bila serangan musuh datang dari arah laut.
Perahu Tradisonal Biak
Suku biak mengenal 2 jenis perahu, yang paling terkenal. Perahu dagang "Manjur" dan Perahu untuk perang "Wai roon"dengan perahu dagang orang Biak mengadakan kontak dengan berbagai suku di luar Papua khususnya Ternate Tidore dan dengan perahu perang orang Biak dikenal sebagai bajak laut Papua untuk berperang serta merampok harta dan budak.
Poin-poin ini hanya sedikit dari sekian banyak tradisi dan adat istiadat suku Biak yang dapat Dihai bagikan dalam artikel ini. Mari kita belajar mengenal tanah Papua beserta isinya dengan segala keunikannya yang masih belum terkuak hingga kini. Semoga bermanfaat.
Comments
Post a Comment