Hari ini saya bertemu dengan seorang pria yang asik diajak
bercanda. Awalnya saya dikenalkan Jhoni ke pria itu, di sebuah
warung nasi daerah Malabar. Setelah berkenalan dan berbasa-basi ternyata
pria itu bernama Marius Madai (Bukan nama asli). Di warung itu kami bercanda dan membahas beberapa hal. Salah satunya, kami bahas tentang pemekaran Provinsi Papua Tengah yang saat ini menjadi
buah bibir dikalangan masyarakat Papua khususnya Nabire. Dari beberapa
informasi dimedia. Kedudukan ibu kota provinsi Papua tengah masih menjadi rebutan antara
kabupaten Biak dan Nabire.
Pembicaran kami terus
mengalir, namun terhenti sejenak ketika Jhoni menyinggung soal tawaran
pemerintah kabupaten Nabire kepada masyarakat Topo khususnya daerah
Huwou untuk dijadikan sebagai letak ibu kota provinsi Papua tengah. Dari sinilah
cikal bakal pembicaraan kami berputar sembilan puluh derajat kembali ke
masa awal kehiduan suku Mee di wilayah itu.
Madai mulai bercerita tentang kehidupan awal suku Mee di wilayah Huwou. Kata Madai "sekitar 5000 lebih orang meningkal waktu itu. Mereka yang tersisa, meninggalkan kampung itu dan saya adalah satu-satunya anak dari mereka yang meninggalkan kampung itu". Lanjutnya.
Dari percakapa itulah saya tahu bahwa Marius Madai (red) adalah satu-satunya generasi yang terlahir dari beberapa orang yang mengungsi dari kampung Huwou saat kematian masal itu terjadi. Dia merupakan generasi terakhir yang berhak mendapatkan warisan tanah Huwou yang luasnya mencapai ribuan hektar.
Saya dan Jhon masih terdiam menyimak tiap alur ceritanya.
"Pada saat saya dalam perjalanan dari Nabire ke Jakarta. Saya di telpon, katanya pemerintah ada mau bahas tentang perizinan. Pemerintah berencana meminta saya untuk melepaskan tanah Huwou sebagai ibu kota provinsi Papua tengah". Lanjutnya, menjelaskan.
***
Nabire- Bagi mereka yang bermukim di Papua, kata ini tidak asing lagi
untuk disimak. Nabire merupakan nama sebuah kabupaten di provinsi Papua yang saat ini menjadi pintu masuk bagi wilayah pegunungan tengah Papua. Kabupaten yang awalnya adalah Dati II Paniai ini,
memiliki sejarah yang panjang untuk dijelaskan. Di kota ini banyak
menyimpan kekayaan alam, suku, bahasa, budaya, serta keunikan sejarah yang saat ini berangsur ditelan zaman. Dari semua itu,
satu hal yang hampir terlupakan adalah sejarah peradaban suku Mee di
wilayah Topo terlebih khusus wilayah Huwou, Gamei, Dipa, Menou, kali Adai, dan sekiaranya.
Sebelum masyarakat
di wilayah ini bersentuhan dengan dunia luar. Wilayah Huwou dan Gamei
didomisili oleh beberapa marga (Fam) seperti, Madai, Tauwai, dan Wakei. Waktu itu, jumlah masyarakat di kedua wilayah tersebut setara
dengan dua kecamatan di masa kini. Namun sayangnya, saat ini pemukiman yang dulunya begitu ramai, kini telah hilang tak terjangkauan
indra. Lahan dengan ribuan hektarnya saat ini nihil akan tawa bayi
sekalipun. Ribuan pusara yang dahulu berbaris membentuk formasi layaknya
Si loreng, kini telah menghilang terkubur rapi menjadi pijakan akar
pepohonan yang ukuranya setara tangki pengangkut minyak.
Penyebab
utama dari kematian masal di kedua wilayah itu, sulit dijelaskan dengan
metode yang sederhana. Menurut masyarakat setempat, kematian masal yang menimpa Huwou merupakan ulah dari makhluk gaib yang datang secara nyata dan membunuh
satu orang setiap harinya. Konon masyarakat di wilayah itu, tidak mampu mengusir
makhluk halus tersebut, apalagi membunuhnya. Terpaksa mereka yang tersisa
mengungsi dari Huwou dan gamei. Saat ini anak cucuknya berdomisili di
wilayah kecamatan Dipa, Topo, Menou,dan sekitarnya. Mereka yang tersisa
hari ini adalah hasil dari perjuangan nenek moyangnya, keluar dari
kampung Huwou yang kini menjadi rimba.
Kematian dengan satu jiwa
perhari bukan hanya terjadi puluhan tahun lalu wilayah Huwou. Pada tahun 2000-an tepatnya di kampung Unipo pernah mengalami hal serupa.
Kampung itu terletak di pertengahan kabupaten Nabire dan Dogiyai. Tepatnya sekitar 130 kilo meter dari kabupaten Nabire. Sedangkan daerah
Huwou jaraknya sekitar 60 kilometer dari Nabire. Artinya, kematian masal di kedua kampung itu terjadi dalam ruang yang sama tetapi pada waktu yang berbeda. Keduanya terjadi dalam wilayah adminstrasi kabupaten Nabire (2001).
Saat
kematian masal melanda kampung Unipo dihaimoma pernah melintasi jalan
raya yang menghubungkan kedua kabupaten itu dan melihat langsung
bagaiamana masyarakat Unipo mengubur orang yang meninggal hanya
berselang sehari dari mayat sebelumnya. Sederhanyanya, tiga orang
meninggal dalam seminggu. Kejadian itu terus berulang sekitar
satu tahun. Akhirnya masyarakat yang tersisa mengungsi dari tempat itu
ke kampung lain. Saat ini jika anda melintas di jalan itu, anda hanya
akan menemukan pohon rambutan berjejer rapi di kanan dan kiri badan jalan raya.
Pohon-pohon rambutan yang berjejer itu kini akan menjadi saksi kematian ribuan nyawa dikala itu tahun 2000-an di kampung kecil yang bernama Unipo. Rumah dan lahan
di perkampungan tua itu, telah terkubur tanpa meninggalkan jejak sepotong
balok sekalipun. Entalah apa dan siapa penyebabnya. Sampai saat ini belum juga berjawab.
***
Memang benar saat ini beberapa wilayah seperti Gamei, Kali Adai dan sekitarnya sedang berangsur di rampas orang. Ketika kita hendak berangkat
dari Nabire menuju Dogiyai. Kita akan menemukan pondok
pondok beratapkan terpal dan kios-kios mini berjejeran di antara kilometer 38 dan sepanjang pinggiran kali adai. Padahal
wilayah itu merupakan tanah milik marga Madai, Tauwai, dan Wakei. Mungkin mereka beranggapan tanah di wilayah
itu tidak lagi bertuan, tetapi ternyata tidak. Tanah itu ada pemiliknya,
hanya saja jumlah mereka terbatas untuk merangkul dan mengawasi tanah seukuran Jawa barat Itu.
Bagian Huwou misalnya, yang berhak atas tanah tersebut hanya tersisa satu orang. Marius Madai. Lelaki itu saat ini hanya memiliki seorang anak perempuan. Pada bagian ini, saya terharu untuk menyimaknya. "Katanya saya hanya punya satu anak perempuan, sembari menatap foto anaknya di layar Handphone". Terharu karena kita tahu bahwa, semua Orang Papua yang berasal dari suku Mee. Menganut tradisi hak waris tanah adalah laki-laki. Artinya, jika tidak ada anak laki-laki sudah pasti anak perempuan yang notabenenya akan melahirkan marga lain yang akan mewariskan tanah itu.
Mendengar semua itu. Saya hanya terdiam dan berharap apa solusinya, namun belum juga saya temukan. Ini baru pertama kali saya dihadapkan pada sebuah persoalan yang membuat saya bertingkah seperti mayat hidup. Tak mampu bernalar hanya untuk mencari secuil solusi.
***
Tanah di wilayah-wilayah itu sudah mulai dirampas orang. Sedangkan mereka yang berhak atas tanah itu, jumlahnya bisa dhitung dengan jari. Terlebih daerah Huwou yang saat ini hanya tersisa satu orang. Ketika mengetahui kondisi ini, ada beberapa pertanyaan yang muncul silih berganti dalam benak saya. Apa fungsinya pemerintah daerah dan adakah wakil rakyat atau pun orang-orang berpendidikan di wilayah itu? Kalau ada mengapa mereka tidak membuat semacam lembaga yang secara konsisten mengawasi tanah-tanah itu.
Oh ..Tidak. Ternyata saya salah, malah pemerintah yang meminta Marinus untuk tanah itu dilepaskan sebagai ibu kota provinsi Papua Tengah. Saya melangkah lagi ke wakil-wakil rakyat ataupun orang pintar di daerah itu. Ternyata itupun salah. Mereka merupakan orang-orang yang turut menjadi bagian dari pemerintah. Bukan masyarakat.
Kematian masal memang telah menimpa kampung Huwou dan kini hanya tersisa Marinus Madai. Di zaman serba modern ini pun, menurut saya pembunuhan yang tiga kali lebih kejam sedang dirancang pemerintah. Bagaimana tidak, jika kampung Huwou dijadikan sebagai ibu kota provinsi Papua tengah, sudah pasti akan membunuh semuanya. Hutan, binatang, pepohonan, sungai-sungai yang jernih. Selain itu manusia Mee yang bisa di katakan tersisa satu ini, akan tergantikan oleh jutaan manusia transmigrasi. Tidak cukup sampai di situ, pusara-pusara moyangnya di wilayah itu akan menjadi pondasi bagi rumah dan ruko yang megah.
Akalku semakin lumpuh. Tidak ada lagi tempat untuk mengadu, hanya untuk mendapat secuil solusi yang dapat mengusap air mata tanah Huwou. Akhirnya, saya hanya bertanya pada diri saya. Adakah cinta yang tersisa untuk dia yang tersisa di Huwou.
Emas Papua telah menjadi permadani untuk siapa saja. Kini tulang-belulang orang Papua pun akan menjadi tumpukan pijakan bagi penjajah. Menurutmu, seberapa berharga kita di mata Mereka? Tidak. Kita hanya perabot yang dapat digunakan sang Tuan kapanpun ia kehendaki.
Menarik nauwa luar biasa, semoga dgn artikel ini tolak ukur bagi kita yg peduli akan tanah dan budaya.
ReplyDeleteMenarik nauwa luar biasa, semoga dgn artikel ini tolak ukur bagi kita yg peduli akan tanah dan budaya.
ReplyDeletesaya sangat terharu melihat dan mendengarkan sejarah daerah saya yang sangat menyakitkan
ReplyDelete