-->

5 Alasan Indonesia Tidak Akan Pernah Menganggap Orang Papua Bagian dari Indonesia

8 comments
dihaimoma Menulis
Selamat Natal bagi teman-teman yang beragama Kristen. Sebenarnya, Dihai sudah dua bulan istirahat dari dunia tulis menulis di blog, dengan alasan yang belum juga saya pahami. Meskipun demikian, beberapa persoalan yang terjadi di negara ini memaksa otak saya untuk menggerakan tangan saya dan selanjutnya otak dan tangan bekerja sama untuk menuangkan beberapa hal yang tertampung di benak saya selama dua bulan terakhir,  pada  artikel ini. Jika mengacu pada persoalan utama yang hendak saya singgung dalam artikel ini, maka artikel ini ditujukan kepada semua orang non Papua di Indonesia.


Dari sekian banyak persoalan itu, ada satu yang menjadi objek kajian saya dalam mempertanyakan persoalan itu dengan akal sehat. Hal yang saya maksud adalah  persolan yang berkaitan dengan tanah Papua yang mengacu pada isu suku, agama, ras, dan antar-golongan atau yang dalam akronim akrab kita sebut SARA.

Mungkin anda bertanya, mengapa artikel ini ditujukan secara universal dengan kata "non Papua"? Padahal yang sering mengutarakan kata-kata berbau SARA itukan hanya segelintir orang? Jika demikian, pertanyaan anda! Maka anda  tidak salah. Itu benar. Tetapi, anda harus tahu bahwa, kita tidak bisa memungkiri terkadang jika persoalan itu berhungan dengan Agama atau Ras maka sangat cepat persoalan tersebut menjadi persolan semua penganut agama ataupun semua ras yang dimaksud. Meskipun secara objektif,  kita tahu bahwa yang salah hanya satu orang atau segelitir orang. 

Contoh kasus Ahok. Teman-teman Muslim pun terbagi dua. Ada yang bersikeras menyatakan Ahok salah, tetapi ada juga yang dengan mati-matian membelah Ahok dan bahkan sampai menangis dan mendoakan Ahok. Kalau dalam konteks isu SARA seperti ini. Dihai sendiri berpandangan bahwa mereka yang selalau menggunakan isu SARA merupakan anak-anak TK. Bahasa gaulnya, selama loe tidak mengancam dan tidak memukul saya. Loe mau ngomong apa ke saya dan agama saya terserah loe, karena itu mulut, mulut loe.
Yupps.. tapi brow, setiap orang itu pasti berbeda persepsi dalam memandanng dan memaknai sebuah objek persolan. Naahh...!!, makanya saya menulis artikel ini secara universal. Dengan demikian anda tahu, bahwa tulisan ini secara objektif ditujukan kepada para pelaku penyebar unsur  SARA  di Medsos tetapi juga ditukan kepada mereka yang tidak melakukan.  Supaya artikel ini juga turut menjadi catatan buat mereka. 
Jujur sejak saya duduk di SD. Saya  diajarkan bahwa negara ini terdiri dari multi etnis, agama, suku, bahasa dan pulau.  Saat itu, saya diajarkan bahwa pahlawan dari Papua itu, Marten Indey, Silas Papare, dan Frans Kaisepo. Nama mereka masih tersimpan rapih dalam benak saya. Foto-foto mereka yang digantung rapih pada kanan dan kiri dinding sekolah dulu pun,  masih akrab di otak saya untuk diajak tanya. Namun sayang, belum lama ini Frans Kaisepo yang katanya pahlawan Papua. Berkat jasanya terhadap bangsa ini, wajahnya diabadikan pada uang Rp10.000 tetapi akhirnya ditampar dengan kata-kata rasis yang menyakitkan.

Kata-kata itu seakan mereka menantang dan mengaduh jasa dan kontribusinya dalam mempertahankan Papua  untuk tetap dalam negara yang bernama NKRI. Dari segi politik disintegrasinya Papua dalam NKRI di masa lalu, ia menjadi benteng pertahanan Indonesia yang juga turut melawan sahabat-sahabatnya sendiri, demi negara yang bernama Indonesia. Salah satunya, Nicolaas Jouwe yang juga sepeninggalnya turut mengikuti jejak Frans. Meskipun pandangan politiknya berbeda dengan sahabat-sahabatnya yang Pro Papua merdeka. Dari segi sosial budaya, ras dan agama, Frans Kaisepo adalah  orang Papua yang secara geografis lahir di Biak/Papua. Sedangkan secara geneologis, terlahir dari orang asli Papua.

Sayangnya, beberapa orang di negara ini bahkan tidak tahu siapa sebenarnya Frans Kaisepo. Bahkan dengan angkuhnya  ada juga yang berargumen pahlawan Kafir, ada juga yang menyebut wajanya mirip Pitekan tropus erektus dan Bahkan ada yang berargumen "bapaknya Ahok, pahlawan Komunis. Ejekan rasis itu turut dibahas oleh beberapa media nasional. Berikut ini Dihai sertakan screenshoot dari Tribun News dan Detiko.com. (Klik pada gamabar untuk memperjelas gabar )

Dihaimoma menulsi
Dihaimoma Crop/ Tribun News
dihaimoma menulis
detik.com

Menanggapi komentar Rasis para netizen. Arie Kriting pun turut menanggapi komentar netizen yang sebenarnya kalau kita bersikap  dewasa, bisa dibilang komentar mereka terlalu kekanak-kanakan. Berikut tanggapan komika senior itu.

Tanggapan Arie Kriting
Crop/ Tribun News
Persoalan berbau SARA yang mengacu pada orang Papua bukan hal yang baru terjadi di negara yang sedang bersiap untuk mengajukan diri menjadi anggota tidak tetap di PPB pada bulan Juni 2018  mendatang ini. Di balik topeng demokrasi itu, negara yang mengaku sebagai penyelenggara demokrasi terbesar ketiga di dunia ini, menyimpan benih-benih unsur SARA yang kian hari kian meningkat. Terutama,  untuk orang Papua. 

Selain data-data di atas, tahun ini juga pada bulan Juli saat mahasiswa Papua demo di Yogya, mereka sempat di teriakin "Monyet". Padahal demonya damai. Sikap rasis itu sudah  dialami orang Papua sejak dulu. Salah satunya anda bisa baca dalam buku berjudul "Seakan Kitorang Setengah Binatang" yang ditulis Bapak Filip Karma.  Di dalam buku itu pun, turut dipaparkan perlakuan tidak manusiawi yang dihadapi orang Papua.
Dihaimoma menulis
Cover Buku
Soal jasa Frans Kaisepo dalam memperjuangkan Papua untuk tetap dalam NKRI. Saya pernah bahas  sedikit dalam artikel ini.  Silahkan baca:Surat Untuk Rakyat Papua- Bukan Hal Baru Barisan Merah Putih di Papua
Mengacu pada realitas maraknya kata-kata yang mengandung SARA pada orang Papua oleh non Papua. Berikut ini Dihai sebagai orang Papua, ingin menyampaikan 5 poin yang harus diketahui oleh masyarakat non Papua di Indonesia. Terlebih khusus dalam hal menyikapi hal-hal yang berbau SARA terhadap orang Papua yang tidak lain  sering  orang non Papua utarakan untuk orang Papua. Selain itu, dampak negatif yang akan timbul dari kata-kata tersebut.

Pertama-Orang Papua yang berjuang dengan jargon NKRI harga mati mulai saat ini perjuangan dan pengorbanan mereka menjadi  sebuah tamparan yang sangat menyakitkan dan memalukan. 

Anda menghina Frans Kaisepo, berarti juga merupakan tamparan keras dari anda kepada orang-orang yang dari dulu hingga saat ini memperjuangkan Papua untuk tetap dalam NKRI. Sebut saja Nicolaas Jouwe, Nick Messet, Arberth  Yoku dan jajarannya yang sampai saat ini selalu berjuang NKRI harga mati. Yah. Jika perjuangan dan kontribusi Frans Kaisepo sudah dipandang begitu. Apa lagi segelintir orang-orang Papua yang hanya tidur dan bangun di atas uang dan harta dengan bermodalkan jargon " NKRI HARGA MATI" akan tidak berguna kontribusi mereka di mata negara ini. Jelas persolan ini menjadi catatan penting bagi mereka yang selama ini vokal dalam memperjuangkan NKRI harga mati. hehehe, bagaimana, benar atau tidak kawan? 

Kedua-Nasionalisme Indonesia di Papua yang diperjuangkan petinggi bangsa ini akan Luntur Total. Ko harus tahu, membangun tidak semudah menghancurkan.

Sejarah membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia di Papua yang dijalankan dengan paksa oleh para petinggi negara ini sejak 1961 sampai saat ini nampaknya masih cacat. Aneh. Negara ini, memandang kami orang Papua dengan label TPN/ OPM, Separatis, GBK, pengacau.   Bahkan anak sekolah sampai yang tidak sekolah.  Dari yang muda sampai  yang tua di tembak mati tanpa proses hukum,  yang tidak lain demi nasionalisme negara ini. Tetapi mereka malah mengajari kita untuk saling bermusuhan antar agama dan ras, yang pada ujungnya membangkitkan benih perlawanan. Hal ini pula yang diungkapkan Arie Kriting. Kita dihina dibunuh bahkan diteror,  tetapi ketika kita bersuara kita dicap separatis.

Singkatnya, di tangan kanan ia memegang air dan di tangan kiri ia memegang api. Ia tidak memadamkan api tetapi bermimpi menyatukan air dan api. Entahlah. Mungkin mereka bisa menyatuhkan air dan api dalam satu wadah.
Baca  juga penembakan anak sekolah dan toleransi beragama,  di Papua  pada artikel ini. Surat Untuk Rakyat Melayu- Mari Kita Mulai Belajar Melihat Setiap Persolan Papua Secara Objektif
Ketiga- Jangan ajari kami soal toleransi antar agama di Papua

Setalah anda membaca artikel di atas, terlepas dari kasus intoleransi di Sorong pada 21/4/2014 akibat mabuk. Kesalah pahaman di Tolikara pada tahun 2015 lalu yang berujung pada pembakaran kios yang membuat api merembes hingga melalap Masjid. Kita di Papua tidak ada Intolerasi. Artinya, tidak ada kesengajaan membakar masjid di tolikara. Sedangkan kasus Sorong pun di lakukan oleh tiga orang di bawa pengaru alkohol. Saya tidak mengetahui kasus intoleransi di Papua, selain dari kedua poin kasus di atas.
Tak disangka saat pemuda GIDI membubarkan diri, ada dari kelompok pemuda GIDI yang membakar kios hingga merembet ke Masjid. Jumlah kios yang terbakar berjumlah 70 unit serta 2 mobil terbakar. Api membesar karena ada kios yang menjual bensin serta tidak adanya pemadam kebakaran.(dakwatuna.com)
Sekarang mungkin anda paham arti dari "jangan ajari kami di papua tentang toleransi". Di Papua 90% masjid  tidak ada IBM. Nabire misalnya, di setiap Transmigrasi selalu di bangun rumah ibadah untuk semua agama yang diakui oleh negara (kecuali Khonghucu, tidak dapat saya pastikan.  Ingat  khusus di Nabire). Saya  harus jujur,  kadang ketika natal atau lebaran tiba, lebih seru di Papua dari pada di Indonesia Barat, khususnya daerah  Jawa. Kami di Papua natal dan lebaran itu,  ajang persahabatan antar agama dan makan-makan gratis hehehehe.


Di lain sisi mereka mengharapkan toleransi dan kami diajari hal itu sejak SD tetapi di lain sisi kalian mengajari kami hal yang berbeda. Dalam hal ini, sama dengan poin dua. Kami mengerti sepenuhnya tentang toleransi sejak kecil tetapi ketika suatu saat kami menggunakan apa yang engkau ajari. Kami pasti akan kembali dilabeli dengan hal-hal di atas. Kata-kata berbau SARA.
Catatan tepenting di poin adalah kita di Papua tidak perlu di ajari tentang toleransi dan dalam persolan seperti ini, anda perlu belajar pada kami. Terlebih lagi, bagi yang suka mengobral Sara alangkah baiknya berguru pada Gus Dur atau Walikota Bekasi DR Rahmat Effendi. Meraka ini yang mengerti Indonesia dari akarnya, bukan dari kulitnya.
Keempat- Sejak SD sampai dengan SMA di Papua kami diajari mengenal Indonesia. Mulai dari  upacara tiap senin wajib, sejarah Indonesia dari masa-kerajaan sampai dengan saat ini yang menyangkut kebudayan dan batas-batas adminstrasi provinsi, letak geogfafis Indonesia, nama-nama pelabuhan di Indonesia dan bahkan hari-hari bersejarah dan tokoh-tokoh penting dalam sejarah .

Satu hal yang terkadang saat ini saya menyesal adalah kenapa saya tidak mempelajari Papua. Dari pada terus membuang-buang waktu mempelajari Indonesia. Selain itu hal-hal semacam ini mencerminkan keterbatasan pengetahuan orang non Papua akan tanah Papua beserta isinya. Bisa juga karena negara sendiri menyembunyikan Papua kayak cewek simpanan dari dunia international dan masyarakatnya sendiri. Misalnya,  negara  membatasi wartawan asing dan nasional masuk ke Papua. Mereka yang masuk pun di batasi meliput hal-hal yang berpotensi membongkar konspirasi yang dimainkan Indonesia dan Amerika sejak 1963.
Sederhananya, sama halnya dengan mencintai cewek yang tidak hanya mencintai ko tetapi juga dia siap bunuh ko tanpa bertanya ketika ko tidak mencintai dia. Atau dengan bahasa Melayu Papua "sa mau maki ko sesuka hati dan mau ambil ko semau saya tetapi ko jangan lakukan itu kembali ke saya. Bukankah itu yang disebut dengan sistem penjajahan. Ketika kita bersuara jangankan proses hukum, terkadang kita diantar paksa timah panas dan dicap separatis.
Kelima-Kebenaran sejarah serta sikap rasis yang terselubung di balik topeng  demokrasi inilah yang akan terus memperkokoh perjungan dan memerdekakan orang Papua. Kami melawan dan terus menyadari bahwa kami tidak pernah dan tidak akan pernah menjadi bagian dari Indonesia. Hal ini bukan saja karena kesalahan masa lalu negara tetapi juga karena watak rasis yang penuh unsur SARA.

Pembayaran pajak ke negara dari PT.Freeport saja kurang lebih mencapai 20 triliun per tahun. Hal ini sebagaimana di muat media online Asosiasi Pertambangan Indonesia edisi 02 September 2013. Kepala Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Papua, Dr. M Ridwan Rumasukun, SE, MM memperkirakan potensi penerimaan pajak dari PT Freeport Indonesia dalam setahun bisa mencapai Rp 20 Triliun (ima-api.com). Belum lagi, kontribusi Papua dari perusahaan minyak Britis Petrolium di Bintuni, dari perushaan kelapa sawit di seluruh Papua, dan perusahaan kayu di Papua serta perusahaan mini lainnya yang dikelolan pemerintah.

Pertanyaanya, apa semua itu masih tidak cukup? Yang jelas semua itu membuat kami mengerti sistem ini, tidak lebih dari sebuah penjajahan yang sistematis, terencana dan teroganisir secara  rapi dan ketat. Baik dalam jangka pendek, menengah, mapun jangka panjang. Sekarang pertanyaannya. Adakah manusia yang tidak melawan ketika SDA-nya dihabiskan dan pelakunya selalu  rasis?  Apakah bukan penjajahan ketika mereka berteriak dan berseru demi kebenaran sejarah  di negara demokrasi terbesar ketiga itu dan mereka di cap OPM dan diteriaki kafir? Silahkan anda jawab sendiri.

Dari pembahasan di atas, orang Papua yang pro NKRI harus tahu dan sadar bahwa pahlawan yang berjasa besar dalam mempertahankan Papua dalam NKRI secara mati-matian saja mereka tidak kenal. Mereka ejek dengan kata yang sangat tidak manusiawi. Mereka cap sebagai kafir dan komunis. Apa lagi kalian yang hanya berteriak NKRI harga mati demi sesuap nasi yang berujung di jambang.  Kira-kira apa yang akan mereka gunakan utuk menyebut kalian hehehe. Pikir baik-baik dulu kawan.

Selain itu juga, kita mengacu pada perkataan Ali Murtopo pada image di atas maka sekang sudah mulai terbongkar waktak asli dari negara demokrasi ini. Terlebih bagi mereka yang tidak tahu, bisa belajar dari hal-hal seperti ini untuk mengetahui kelicikan itu. 

Setelah anda membaca artikel ini, apa tanggapan anda?

Related Posts

Comments

  1. Ya,memang betul bagi kita orang papua pegiat yg penjilat NKRI harga mati,anda akan mati sialan tanpa nama yg dikenang.Masih bermartabat matinya bp Theys n sdr2 kita yg gugur krn ideologi Merdeka.ini yg sd dikatkn bp Octo Mote lwt wwncara Indoprogres 'orang papua tiada masa depan brsama Indonesia'.(trims sdr Dhiai ats artikelmu yg memprluas gagasan2 yg militan)

    ReplyDelete
  2. bung Dhiai: Thanks ya, artikel ini sdh membuat para pro NKRI mengenal diri mereka. org papua sdh ditakdirkan seperti yang ada sekarang yang di cemoh oleh teman teman indonesia. kita sebagai orang ber agama sebaiknya tidak boleh memfitna Karya Tuhan Allah, karena muka kaya manusia sampai dengan kaya monyet itu semua ciptaan Tuhan yang Kita sembah.

    ReplyDelete
  3. Hanya Tuhan Yang Tahu Semuaanya dan Papua Pasti Merdeka.

    ReplyDelete
  4. Terus berkarya, terus menulis, karena kita memperjuangkan apa yang diciptakan dan ditempakan oleh Tuhan, bukan sebuah identitas buatan NKRI, didasari ambisi ekspansionis, nafsu imperialis dan kerakusan kolonialis

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kebenara pasti akan terbukti dengan sendirinya.

      Delete

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter