Papua merupakan provinsi paling Timur Indonesia yang dikagumi karena kekayaan alamnya. Dibalik nama besarnya, negeri burung surga itu dikenal juga karena kesenjangan yang terus menjalar dihampir semua lini kehidupan masyarakatnya. Sejak kecil, saya selalu mendengar ungkapan, Papua itu tertinggal dan terbelakang. Hal serupa juga untuk Indonesia. Negara kita merupakan negara berkembang. Lalu kapan kata berkembang dan tertinggal ini menjadi maju dan terdepan? Sampai saat ini masih sulit untuk dijawab.
Terlepas dari maju
tidaknya Indonesia dan Papua. Selama ini, ada satu hal yang terus mengganjal dalam
ingat saya. Ketika kekayaan alam Papua dikuras puluhan perusahaan asing.
Pemerintah terus diam, bahkan pemerintah meminta para investor datang ke
Indonesia tetapi ketika berlaku tidak adil terhadap pemerintah maka
informasinya menjadi buah bibir di seluru pelosok negeri. Termasuk para
pemangku kepentingan di Jakarta dan Papua, turut membahasnya. Salah satunya,
Freeport Indonesia (FI) yang lagi ramai
dibahas tentang perubahan Kontrak Karya (KK)
menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Perseteruan antara perusahaan
milik Amerika itu dengan pihak Pemerintah berujung buntuh. Pihak FI memberi
waktu 120 hari ke Pemerintah untuk mempertimbangkan usulannya. Sementara itu,
orang Papua hanya menjadi penonton setia dalam korban yang terus berjatuhan.
Seperti
apa masa lalu PT. Freport Indonesia di Papua?
Saat ini bukan hal
tabuh untuk mengatakan jauh sebelum Papua berintegral dengan Indonesia. Negara
menaru perhatian lebih pada Sumber Daya
alamnya. Bukan Manusia Papuanya. Lantas Mengapa seperti itu?
Sejak tahun 1963-1968 Papua
dalam Indonesia hanya secara administratif. Pulau emas itu berintegrasi penuh
dengan Indonesia pada tahun 1969 berdasarkan hasil Penentuan Pendapat Rakyat
(PEPERA). Kontrak Karya pertama antara
Indonesia dan perusahaan milik Amerika
Itu berlangsung pada 1967 yang
notabenenya dua tahun sebelum orang Papua menentukan pilihan mereka untuk
berintegrasi dengan Indonesia atau tidak
melalui PEPERA.
Kasus di atas
menunjukan bahwa sejak awal kehadiran perusahaan multi nasional itu di Papua.
Pemerintah dan negara pemodal tidak pernah menggap orang Papua merupakan tuan
rumah atas semua SDA di Papua. Dari kasus di atas ada beberapa hal yang janggal
dan perlu dipertanyakan. Sejak kehadiaran FI di Papua, kesenjangan begitu
nampak pada suku asli di wilayah operasi FI. Sejauh ini, karyawan FI mayoritas diduduki orang non Papua. Kontrak
Karya FI berlangsung jauh sebelum orang
Papua menentukan pilihan mereka. Pertanyaannya, apakah salah jika orang Papua
terus curiga pada pemerintah Indonesia
dan negara pemodal akan adanya
kongkalikong antara mereka untuk memenangkan hasil PEPERA dengan kecurangan? Entalah,
yang pasti hanya sejarah yang tahu dan Indonesia yang selalu benar.
Kapan korban orang Papua diabaikan?
Sumber: ataruangpertanaha/Amugme |
Di Papua hampir setiap
tahunnya jumlah orang Papua kehilangan
nyawa akibat kekerasan dari pihak keamanan mapun bentrok antar orang Papua
terus bertambah. Korban seperti itu bukan hal yang baru terjadi tetapi sudah berlangsung
dan berakar di Papua sejak dulu. Korban akibat kekerasan negara yang sampai
saat ini belum dituntaskan misalnya,
kasus Wasyor(2001), Biak berdarah (1998), kasus Wamena (2003), kasus Paniai (2014)
dan lain-lain.
Akibatnya, belum lama
ini Indonesi menerima 5 rekomendasi HAM dari PBB untuk penyelesaian kasus Ham
berat di Papua. Kasus Paniai misalnya, oknum anggota keamanan menembak mati 5 orang
siswa SMA. Anehnya, sementara pemerintah diam, kasus itu sudah didokumentasikan
dan dipublikasikan di Inggris dalam bentuk video via Youtube.
Korban akibat konflik
antar orang Papua yang terjadi pada hari sabtu 25 Februari 2017 di Intan Jaya. Bentrok antara kubuh
pendukukang dalam PILKADA itu mengakibatkan 6 orang dinyatakan meninggal
dunia dan 600 orang lainnya luka-luka. Selain itu, korban akibat konflik antar suku di Timika yang sejak dulu terus terjadi dan meminta
nyawa.
Dalam kasus semacam ini
nampak bahwa negara tidak cepat merespon informasi seputar kasus-kasu yang terus meminta nyawa orang Papua. Meskipun
merespon, pemerintah tidak sungguh-sungguh berniat untuk menyelesaikan masalah. Pada
tahun lalu, pemerintah melalui menteri Luhut B Panjaitan membentuk tim
penyelesaian kasus Ham berat Papua, namun
sampai saat ini belum ada hasil. Anehnya lagi, para elite yang sering berseteru
akibat FI diam tanpa kata. Saya sebagai orang Papua kadang lucu dengan tingkah
Jakarta yang kekanak-kanakan. Materi untuk memperkaya diri lebih utama dari pada manusia, terlebih
Papua.
Gan, Jangan Lupa Baca Ini Juga :
Apa dampak negatifnya untuk Indonesia
kedepan?
FreePort Indonesia yang
kontrak karyanya akan berakhir 2021
nampaknya tidak ingin di ganggu dengan
segala kenyamanannya. Pemerintah terjebak dalam kesalahannya sendiri. Antara
mempertahankan kebijakan IUPK nya atau membiarkan status FI tetap sebagai KK.
Jika mengalah, publik akan menganggap Indonesia tunduk pada pemodal. Kalau maju
perusahaan itu akan membawa Indonesia ke arbitrase Internasonal. Secara logika
memang tidak masuk akal. Sebuh badan usaha menggugat negara berpenduduk jutaan
orang. Namun jika terjadi, akan berdampak pada karir politik dan ekonomi
Indonesia di dunia Internasional.
Kita tahu disisi lain Indonesia
berharap kehadiran para investor tetapi dilain sisi mempersulit dan
mengusir investor. Sangat tidak mungkin
negara mengambil alih FI dan dalam sekejap menyediakan lapangan kerja untuk
sekian ribu karyawan. Apalagi Berdasarkan laporan kepada Dinas Tenaga Kerja,
Transmigrasi, dan Perumahan Rakyat (Disnakertrans-PR) Kabupaten Mimika, Provinsi
Papua. FI telah mengurangi 1.087
karyawan. Kondisi semacam ini membuat Indonesia terjebak dalam situasi
dilematis. Akhir dari masalah ini, hanya ada satu hasil. FI akan tetap beroperasi di Papua dengan apapun
statusnya.
Selain itu hal semacam
ini menjadi Indikasi bahwa negara lebih mengutamakan Sumber Daya Alam Papua
dari Pada orang Papua. Hal ini bukan hanya karena persolan di atas tetapi juga
karena ucapan Alimurtopo yang mengatakan, Indonesia tidak butuh orang Papua tetapi
Sumber Daya Alamnya. Persoalan yang terjadi saat ini turut memperjelas bahwa kondisi
yang terjadi saat ini merupakan akibat dari kesalahan di masa lalu yang
selanjutnya terus menjadi duri dalam daging di hati orang Papua untuk terus melawan
Pemerintah. Negara ribut jika pembagian hasil SDA Papua oleh para investor
tidak adil, tetapi diam ketika manusia Papua terus mati terbunuh. Mungkin ini
akibat dari kata terbelakang dan tertinggal itu? Kalau benar, kemana Sumber
Daya Manusia Papua yang Negara bentuk sejak Papua berintegrasi dengan
Indonesia? Entalah. Mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Comments
Post a Comment