Ketika mendengar kata jual dan beli kadang saya merasa seperti dihantam popor senjata. Jujur saya kadang sakit hati untuk menyimak ataupun memaknai kedua kata ini dari sudut pandang Orang Papua saat ini. Satu dari sekian banyak hal yang tidak kita sadari sebagai orang Papua adalah siapa kita. Kita lupa jati diri kita, bahkan bangga dengan modernisasi tetapi terkadang tidak memahami makna sesungguhnya dari modernisasi dan globalisasi. Kita menjual semuanya. Lalu, kita membenci orang lain. Sebenarnya, kita ini maunya apa?
Persoalan yang saya maksud di sini adalah bukan berarti anda sadar dan harus
berteriak Papua merdeka atau anda harus bergabung dalam organisasi perjuangan
kemerdekaan Papua. Soal kedua hal ini, banyak abang-abang kita yang sedang
memperjuangkan itu. Ingat, bukan berati anda tidak boleh bergabung dalam
perjuangan tetapi lebih pada mengambil peran yang secara tidak langsung turut
berdampak positif pada perjuangan itu sendiri. Kawan, hari ini masih banyak celah yang
digunakan penjajah untuk menumbangkan kita dan hal-hal semacam ini harus kita
tutupi bersama.
Kita harus mengakui bahwa selama ini kita hanya melihat banyak hal dari sudut
pandang orang Papua sebagai subjek dan menjadikan Indonesia objek. Kita lupa
dan bahkan waktu untuk melihat diri kita sendiri sebagai objek terkadang
terkubur oleh kebencian yang terus menyakiti kita. Satu pernyataan sederhana
adalah kita orang Papua itu sangar diluar tetapi sebenarnya sangat lemah dalam
meletakkan dasar yang kokoh. Benar atau tidak kawan?
Semua sudah terjual. Percayalah, di Papua semua sudah terjual. Siapa yang
menjual, dalam hal ini anda tidak bisa menyalahkan pembeli. Kita
sendiri yang terkadang melakukan itu. Satu hal yang membuat Papua
lama dalam mencapai cita-cita itu adalah kita sendiri. Terlebih, karena budaya dan tradisi kita mudah sekali dipengaruhi oleh budaya lain. Dari hal semacam ini,
Dihai akan berbagi 5 alasan mengapa kata jual dan beli itu turut membunuh orang
Papua.
Pertama- tanah, hutan, batu, dan kekayaan alam lainnya terjual habis dengan
harga yang relatif murah dan mudah. Padahal orang yang berpikir global, sudah
panik dengan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat dan penyediaan pangan serta lahan bagi
miliaran penduduk bumi.
Sumber Gambar:greenpeace.org/its |
Orang Papua hari ini sangat tidak menyadari betapa berharganya tanah yang
mereka jual hanya dengan ratusan bahkan puluhan juta perhektare. Bukan hanya
itu, dibeberapa daerah seperti kabupaten Dogiyai masyarakat menjual tanah
ratusan meter hanya menukar dengar motor.
Sederhananya, tanah dengan luas ratusan meter itu seharga motor Yamaha Viksen di Dogiyai.
Bukan hanya tanah, hutan dibabat habis dengan perusahaan-perusahaan mini. Apalagi
ditambah dengan perushaan-perusahaan mini dari China dan Korea yang terus
menguras emas di Papua. Pertanyaanya, siapa yang memasukan itu semua? Kalau
didalamnya tidak ada campur tangan orang Papua sendiri. Kasus penjualan tanah
oleh masyarakat dan memasukan perusahaan-perusahan kayu dan tambang untuk
mengambil hasil alam semakin tidak terkontrol di Papua. Sementara kita terus
bangga menikmati hasilnya.
Anda coba bayangkan pada abad ke-19 penduduk bumi hanya 1 miliar. Butuh
130 tahun untuk mencapai 2 miliar penduduk bumi. Pada tahun 1959 populasi
manusia mencapai 4 miliar. Lalu pada tahun 2011 populasi itu telah
berkembang mencapai 7 miliar.
Pada tahun 2014 Profesor Shashi Sharma dari Universitas Murdoch pakar ketahanan pangan mengatakan, memberi makan pada belasan miliar jiwa akan sangat sulit. “Saat ini kita punya 7 miliar dan kita hanya mampu menyediakan pangan bagi 5 miliar di antaranya. Dua miliar orang menderita kelaparan atau malnutrisi.
Sedangkan mengacu pada pada laporan PBB yang berjudul World Population
Prospects: The 2015 Revision, pada tahun 2015 lalu memprediksi setelah 14
tahun populasi dunia akan menyentuh 8,5 miliar jiwa. Lalu pada 2050 akan
menembus sekitar 9,7 miliar, dan genap memasuki akhir abad ke-21 manusia
ditaksir akan berjumlah 11,2 miliar orang.
Ini perkembangan yang sangat konyol dan begitu cepat. Artinya, untuk memberi
makan 10 miliar manusia saja, peneliti dari PBB menjelaskan bahwa diperlukan
minimal hewan ternak yang bila dikumpulkan menutupi area seluas 3,5 miliar
hektare. Area itu lebih luas dari benua Afrika yang luasnya 'hanya' 3 miliar
hektare. Selain itu, manusia juga membutuhkan tanaman pangan yang bila
dikumpulkan seluas Amerika Selatan, atau sekitar 1,8 miliar hektar.
Sumebrr:.pexels.com |
Ketika kita meilihat dikekinian sangat sulit mendapatkan lahan tempat
tinggal yang layak. Apalagi harus melonggarkan lahan seluas dua benua untuk
makanan. Kawan dulu pada tahun 2015 PBB memprediksi jumlah penduduk
Indonesia akan melebihi 300 Juta Jiwa pada tahun 2050. Ini artinya, Papua bagi Indonesia
bukan hanya sebuah tempat yang penuh dengan susu dan madu tetapi juga tempat
berkembang yang nyaman bagi anak cucunya.
Apa lagi saat ini kota Jakarta sudah di sebut dengan megapolitian. Kota metropolitan sudah mulai bergeser ke kota Bandung, surabaya dan lain-lain. Hal seperti ini menjadi indikasi bahwa perkembangan dan kepadatan itu nyata dan sedang terjadi di Indonesia. Lalu apa hubungannya dengan Papua?Saat ini saja, kita telah mengetahui
bahwa jumlah orang Papua menjadi minoritas di atas tanah sendiri.Apagi jika tahun 2050 mendatang kalau Pulau jawa sudah padat dengan penduduk. Papua akan menjadi tempat beristirahat dan beranak cucu yang diidolakan.
Di poin ini jika kita rajin jual tanah dan membuka lahan besar-besaran
di Papua, maka kemungkinan besar ada dua poin yang akan terjadi. Pertama pada
tahun 2050 di Papua, kita ketemu orang Papua itu akan sama halnya dengan kita bertemu orang Papua di Jakarta. Kedua jika kita mengacu pada kekinian, orang Papua mulai tergeser kepinggiran kota. Hal itu, nyata kawan!
Pada tahun 2013 ketika Dihai di Nabire. Dihai melihat tanah-tanah kelas A yang strategis untuk dijadikan proses perputaran ekonomi dan kemudahan akses dikuasai oleh non Papua. Orang Papua mulai tergeser ke sudut dan pinggiran kota. Kalau tidak percaya, silahkan ke Nabire dan saksikan sendiri. Naa sekarang, bagaimana dengan kota anda? Coba anda jalan pantau di kota, apakah sama dengan Nabire. Hehehehe semoga saja tidak begitu!
Anehnya, orang Papua rajin jual tanah dan bangga menyapuh hutan dan lahan kayu demi menikmati hasilnya hari ini. Hehehe mungkin tong terlalu kelebihan baik atau karena tong tra paham? Entalah. Terlepas dari itu, mari kita mulailah sampaikan ke tong pu orang tua jangan jual tanah dan hutan.
Jika tidak sangat disayangkan, generasi tahun
2100 akan berkata "betapa rakusnya moyangku waktu itu, sehingga
meninggalkan beban buatku hari ini.
Kedua-Dari hasil itu kita orang Papua terkang membeli berbagai barang mewah
yang terkadang kita sendiri juga tidak terlalu paham apa fungsi dan manfaatnya
sehingga barang itu hanya berumur jagung. Lebih jau lagi, tidak maksimal dalam
menafaatkan barang-barang yang kita beli. Bisa jadi kita ingin bertingkah modern dan global tapi terjebak dalam gaya hidup westernisasi.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut terdapat 11 provinsi di Indonesia
dengan nilai belanja non makanan lebih besar dibanding provinsi lain. Papua
berada diperingkat teratas dengan alokasi belanja mencapai 62,89
persen (Katadata.co.id). Sampai di sini, jelas bahwa kita belanja barang-barang begitu banyak tetapi dalam penerapannya terkadang tidak memberi hasil yang maksimal. Anehnya, terkadang untuk mengoperasikan barang-barang itu kita harus cari orang luar Papua.
Kasus semacam ini banyak yang terjadi di Papua. Setelah cari orang luar, akhirnya orang Papua ditipu demi keuntungan mereka. Kasus semacam ini, kadang juga kita ditipu oleh para distributor dan
penyedia jasa. Tidak percaya? Kalau orang Papua yang beli barang, harga akan melambung tinggi. Anggapan mereka orang Papua itu kaya dan banyak uang.
Ahh tenang saja, saat ini tanah serta hutan Papua masih luas. Mungkin sampai nanti pohon terakhir ditebang untuk dijual. Tanah sisa
diduduki pendatang. Emas terakhir didollarkan, minyak terakhir dijual dan
barang terakhir kita beli baru kita akan sadar uang dan barang tidak dapat kita
makan.
Ketiga- Orang Papua suka menjual tanah dan hutan untuk membeli
barang itu biasa tetapi anehnya lagi, akhir-akhir ini orang Papua jual orang
Papua juga mulai nampak.
Poin ini kembali pada pembahasan awal bahwa generasi kita saat ini menaruh
perhatian lebih pada gaya hidup Westernisasi. Kita belum mampu menghadapi
dua arus besar yang biasa mereka sebut dengan modernisasi dan globalisasi.
Persoalannya, adalah nilai-nilai leluhur dan kebudayaan kita tenggelam bersama kedua arus ini. Kita lebih bangga dengan kebarat-baratan atau
westernisasi. Hal itu mungkin ada baiknya tetapi satu hal yang menjadi penanda adalah
ketika kita bangga dengan gaya hidup westernisasi. Kita lemah dalam
mempertahankan apa yang kita miliki.
Sederhananya, alih-alih berlaku modern dan global. Kita terjebak dalam gaya hidup kebarat-baratan yang semakin membentuk kita menjadi manusia invidualistik dan materialistik yang terus memupuk beni kriminalitas dan kesenjangan.
Kondisi semacam ini kita bisa tahu ketika kita lebih bangga dengan
kebarat-baratan dari pada apa yang kita punya. Padahal kita bisa bertingkah
seperti itu dengan tetap mempertahankan apa yang kita punya.Hal itu dapat di lakukan, kita bisa belajar dari orang Jawa yang kental dengan kebudayaannya sehingga kedua arus ini tidak mampu menggoyang. Dari orang china yang ketat dengan
kebudayaannya. Jika kita melihat orang jawa di Suriname, kita akan tahu dari
bahasa sampai dengan kebiasaannya masih kental dengan kebudayaan jawa, padahal
sudah puluhan tahun mereka berbaur dengan berbagai kelompok.
Jangang Lupa Baca ini Juga:
- Apakah Anda Yakin Orang Papua itu Berkulit Hitam?
- Negara Rajin Urus Freeport Tapi Lupa Pemiliknya
- 5 Manfaat Sagu ini, Pasti Membuat Anda Berpikir 50 Kali untuk Menjual Lahan di Papua
Orang Jawa di Kaledonia Baru tetap menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa
sehari-hari dan kental dengan tradisi kebudayaannya. Tentunya, orang jawa di
Papua. Meskipun mereka dihantam kedua arus ini, mereka menyesuaikan diri tanpa
mengorbankan tradisi dan kebudayaan mereka. Satu hal yang pasti, jika orang baru
atau kebudayaan baru yang masuk di wilayah mereka sudah pasti bukan mereka yang
akan terpengaruh tetapi orang tersebut yang akan dipengaruhi oleh kebudayaan
mereka. Yah.. karena mereka memiliki dasar yang kuat. Sama halnya dengan tadi
gaya hidup Westernisasi yang memiliki pengaruh besar dikalangan anak muda
Papua, juga dunia.
Konteks Papua, serbah salah. Ko pegang kebudayaan mereka akan bilang ko
kampungan dan bahkan ada yang malu dengan kebudayaan dan tradisinya
sendiri.Gaya hidup kebarat-baratan disebut modern. Lalu apakah benar kita siap
dengan arus globalisasi dan modernisasi. Hehehehe semoga kita bisa lebih paham dengan
kedua arus besar ini, biar kita tidak samakan Westernisasi dengan kedua arus ini?
Jika tidak kita sedang saling menjual.
Sederhananya tradisi dan kebudayaan yang kita punya saja kita jual sendiri dan memilih kebudayaan baru yang notabenenya dapat buat kita lupa darimana kita berasal.
Persoalan ini hanya mengacu pada tradisi dan kebudayaan orang Papua. Belum lagi dari segi politik. Kita tahu di Papua selama ini ada dua kubu yang saling kontra. Orang Papua Barisan Merah Putih dan Barisan yang pro Merdeka. Pertanyaannya, mengapa dengan mudah orang Papua dapat dipengaruhi untuk masuk dalam barisan merah Putih? Kembali kepenjelasan di atas," Karena lupa dari mana ia berasal dan darimana ia datang" dan masih banyak lagi persoalan seperti ini terjadi di Papua.
Keempat-Hasil jual dan beli di atas, akan menciptakan generasi
pengemis diesok hari. Itu adalah persoalan terbesar yang akan kita tinggalkan
untuk generasi berikutnya dari tingkah kita hari ini. Mereka bukan saja akan
bingung mencari alas-usul mereka atau tanah untuk mereka membangun rumah
tetapi nama-nama pohon seperti Matoa, kayu besi, pohon sagu, dan
lain-lain akan mereka ketahui bentuknya di internet melalui foto dan video.
Kita kaya hari ini bergaya dengan sekian rupiah dari hasil hutan dan alam
Papua. Kita bangga dengan emas dan tembaga. Kita berteriak dan sombong karena
tanah yang luas.Sayang, fakta hari ini membuktikan bahwa kita gagal
membangun Papua. Pemerintah sibuk berpolitik dan membangun pembangunan fisik.
Masyarakat terabaikan dan terus dipermainkan. Masyarakat tidak diperhatikan,
jadi terus meminta perusahaan.Selain itu, tanah yang diwariskan dan pohon yang membutuhkan ratusan tahun untuk tumbuh ditebang dalam sehari untuk dijual demi sebuah kesenangan
sesaat. Bukankah begitu kondisi kita di Papua saat ini kawan?
Di Papua hari ini mungkin anda jarang melihat anak-anak kecil kumpul botol
dan rongsokan ditumpukan sampah. Pengemis ditrotoar dan angkutan
umum, tetapi besok itu akan menjadi tontonan yang elok untuk diperbincangkan.
Kita hari ini bangga dengan Fortuner dari hasil alam tetapi sayang kerakusan
kita akan meninggalkan masalah yang cukup serius bagi generasi mendatang.
Sumber: Pixels.com |
Ketika hutan Papua gundul, ketika laut dan sungai di Papua tercemar, ketika stok
minyak bumi habis, ketika emas dan tembaga habis yang ada hanya krisis global
menyapu Papua. Satu catatan menyedihkan yang akan mereka katakan oleh generasi Papua esok hari
untuk kita adalah "betapa rakusnya moyang kita sehingga mereka hanya menyisakan
efek negatif dari hasil yang mereka nikmati"
Kelima-Besok
ketika tidak ada lagi yang hendak di jual, orang Papua akan
jual diri. Kalau keempat proses di atas sudah terjadi di Papua, tidak
ada hal yang tersisa untuk dijual maka muncullah perdagangan manusia,
hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ketika
kita berkaca dikenian dan menatap dengan saksama di negara-negara seperti
Amerika, Jepang, China dan lain. Kita akan melihat pengaruh dari arus
globalisasi dan modernsasi itu begitu nampak.Segala cara dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ini bukan hanya soal makan minum dan
tempat tinggal tetapi masalah kebutuhan akan uang. Perdagangan manusia,
penyedia jasa pacar, penyedia jasa ibu bagi orang-orang yang jam
terbangnya tinggi, jasa pekerja telanjang bagi penganut natularis di
eropa, Bank sperma bagi ibu yang ingin punya anak tanpa proses kawin,
sampai dengan penyalahgunaan obat-obat terlarang yang terus menghantui (kriminalitas) negara-negara itu.
Semua
ini terjadi karena tidak ada lagi hal-hal yang dapat dijual dan
dimanfaatkan untuk mendatangkan uang. Selain contoh di atas, di Jawa
seperti Bogor misalnya. Ketika hujan bagi mereka hal itu merupakan sumber uang dengan
menyediakan jasa payung. Ketika di posisi serbah mentok inilah, akan ada
generasi dimana orang Papua jual diri.
Pertanyaan
terbesar dari kasus semacam ini. Papua yang kaya hanya akan tersurat
dalam sejarah untuk diperbincangkan. Intinya, kita sadar bahwa banyak
keserakahan dan pencurian di Papua tetapi terkadang kita ditertawakan sama pencuri
karena teriakan kita sama halnya dengan pencuri teriak pencuri. Perbedaan
terbesarnya. Jika hari ini, orang Papua mencuri kekayaan alam yang
seharusnya dapat disisakan bagi generasi selanjutnya. Indonesia mencuri kekayaan alam orang Papua dari kita saat ini dan juga dari generasi
mendatang untuk keperluan dan kenyamanan generasi mudanya ratusan ribu
tahun mendatang.
Catatan: Artikel ini diadaptasi dari berbagai sumber dan sumber dicantumkan seperlunya.
[1] National Geographic online edisi 2014. Ini Perkiraan Populasi Bumi pada
2050. Diakases 217/3 2017.
[2] Tirti.Id online edis 06 /12/2016. Horor Ledakan Populasi Umat Manusia.
Diakases 217/3 2017.
[3] Kompas online edisi Juli 2015.PBB: Pada 2050, Jumlah Penduduk Indonesia
Melebihi 300 Juta Jiwa. 217/3 2017.
Comments
Post a Comment