-->

5 Alasan Mengapa Aktivis Papua itu Patut Dihargai Orang Papua

1 comment
Dihaimoma Menulis
Kehidupan ini bagian dari perjuangan. Sudah menjadi fakta bahwa sejak kita di dalam kandungan ibu. Kita ditakdirkan untuk berjuang. Anda dan saya merupakan satu-satunya benih yang berhasil dibuahi dari sekian juta benih yang berhasil kita kalahkan. Kita merupakan orang-orang terpilih yang menang dan berhasil mengalahkan ribuan benih. Perjuangan itu belum cukup. Saat kita kita terlahir, sebenarnya kita sedang memulai perjuangan itu sendiri.

Dalam kehidupan terdapat banyak hal yang perlu diperjuangkan. Berjuang untuk kelangsungan masa depan banyak orang atau perjuangan untuk diri kita dan keluarga juga turut mempengaruhi cara pandangan kita. Menempatkan kepentingan pribadi di atas kepentingan orang banyak ataukah sebaliknya, menempatkan kepentingan banyak orang di atas kepentingan pribadi.

Perjuangan kita di rahim ibu melawan sekian juta bahkan miliar sperma untuk menjadi pribadi, membuat kita terlahir sebagai makluk pribadi yang memiliki ego. Atau sifat keakuan. Setelah terlahir dan beranjak dewasa akan menjadi pilihan untuk kita. Apakah kita harus berjuang untuk  kepentingan dan kemapanan diri sendiri, mengalahkan jutaan orang sebagaimana dalam rahim ibu. Ataukah kita harus mengubah logika itu menjadi, berjuang melawan segelintir orang atau satu orang demi kelangsungan dan keselamatan jutaan orang. Dalam artian menjadi seorang aktivis. Baik aktivis lingkungan, kemanusian, keagamaan, politik dan lain-lain.

 
Saat ini kita hidup pada masa krisis moral yang memicu terjadinya persoalan multidimensi. Persoalan-persoalan yang sering terjadi dewasa ini merupakan dampak dari pengaruh pendidikan kapitalis yang terus membentuk manusia modern menjadi lebih materialitik. Jangankan nilai-nilai kemanusian. Bumi dimana manusia dan tumbuhan berpijak pun dipandangan sebagai mesin yang bergerak secara mekanistik. Dampak ini yang oleh Nasr disebut sebagai akibat dari krisis moral di tubuh sains modern yang turut berdampak pada semua tatanan kehidupan manusia. Lebih lanjut, Ia mengusulkan sains berparadikma baru yang dibangun atas dasar semua nilai-nilai agama di dunia.  Sebagaimana di abad pertengahan.

Dalam hal ini Nasr berpandangan bahwa krisis yang dihadapi sains modern saat ini tidak terlepas dari pengaruh permikiran para  tokoh terkemuka sains modern.  Secara singkat kita sebut saja, Copericus, Francis Bacon, Descart Newton, dan lain-lain. Mereka bahu membahu memunculkan sains modern yang bertumpuk pada logika, hipotesis, dan verifikasi. Dari tangan mereka alam dipandang sebagai sebuah mesin yang bekerja secara mekanis, atomistik dan tidak hidup. Alam  hanya bisa dibaca, dipahami, dan dimanfaatkan dengan seperangkat  logika serta matematika. Dengan ini pula, sains telah salah dipahami dan tidak dihadirkan secara utuh[1].

Alam dikuras dan diekpoitasi demi memuaskan hawa nafsu manusia. Proses inilah yang menimbulkan persoalan yang kompleks dan multidimensi dewasa ini. Bukan hanya krisis moral dan kemanusiaan yang dihadapi manusia tetapi juga krisis moral ditubuh Sains modern itu sendiri. Bukan hal baru bahwa akibat ulah manusia yang mindsetnya dibentuk melalui sains modern dewasa ini membuat banyak ahli sepakat bahwa  bumi kita sedang menuju kehancuran.
 Menurut Stephen Hawking: Manusia Tinggal Punya Waktu 1.000 Tahun di Bumi [2]
Hal serupa juga di tegaskan oleh Jujun. Sejak dalam tahap-tahap awal pertama pertumbuhan ilmu sudah dikaitkan dengan tujuan perang. Ilmu bukan saja digunakan untuk menguasai alam melainkan juga untuk memerangi sesama manusia dan menguasai mereka[3]

Pendidikan kapitalis ini membuat ilmu pengetahuan (sains) menjelma menjadi tujuan kehancuran bagi manusia. Ilmu bukan lagi merupakan tujuan untuk mempermudah kehidupan manusia. Di dunia barat, mereka tidak lagi mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan supranatural dan menuhankan sains yang dapat memberi kepastian dan dapat dibuktikan kebenaranya. Perkembangan sains yang pesat di dunia barat, menimbulkan munculnya agama baru yang disebut dengan sainstisme. Sains telah menjadi agama (saintisme) dan kelemahan mendasarnya adalah cara pandang terhadap alam[4]

Bukan hanya sains yang turut mempengaruhi cara pandang manusia modern. Perkembangan teknologi yang kian hari kian pesat  membuat kita sulit memilah antara teknologi yang positif dan negatif. Masyarakat harus berjuang menentukan teknologi yang layak dan positif bagi kehidupan mereka. Hal semacam ini bukan hanya mengacu pada konteks Papua.  Buku Erich Schumacher yang berjudul  Small is Beautiful  misalnya, merupakan salah satu usaha untuk mencari alternatif penerapan teknologi yang lebih manusiawi.

Sudah bukan rahasia bahwa lagi bahwa, perkembangan ilmu sering melupakan faktor manusia, dimana bukan lagi teknologi yang berkembang seiring dengan perkembangan kebutuhan manusia, namun justru sebaliknya. Manusialah yang akhirnya harus menyesuaikan diri dengan teknologi. Ilmu bukan saja menimbulkan gejala dehumanisasi namun bahkan mungkin mengubah hakikat manusia itu sendiri, atau dengan kata lain, ilmu bukan lagi sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun juga menciptakan tujuan hidup itu sendiri[5]

Dalam konteks Papua. Persoalan-persoalan di atas merupakan hal-hal yang harus di perjuangkan sejak dini. Salah satu pengaruh dari sains dan teknologi modern itu dapat kita ketahui seperti kehadiran PT. Freeport Indonesia, LNG Tanggu di Bintuni, MIFEE di Merauke dan berbagai perusahan kelapa sawit yang terus memakan ribuan hektare hutan Papua tanpa mempertimbangkan dampaknya. Alam dipandang sebagai mesin yang harus di kuasai dan di eksploitasi demi keuntungan dan kemakmuran yang sebesar-besarnya tanpa memahami hak hidup dari alam itu sendiri. Hal semacam inilah yang membuat, Fritjhof Cafra, Nasr, dan kawan-kawannya menawarkan sains berparadikma baru.  Pengaruh dari pemikiran mereka ini, turut mempengaruhi para aktivis lingkungan untuk tetap memperjuangkan kelangsungan alam sebagaiamana adanya.

Saat ini kita di Papua bukan hanya berbicara tentang persoalan kesehatan, perkembangan sains dan teknologi, pelestarian budaya dan alam Papua. Saat ini kita berbicara tentang hal yang mendasar untuk mencapai dan mengatur semua itu secara mandiri dengan sistem yang mandiri pula. Hal yang paling asasi dari semua itu adalah setiap bangsa di dunia berhak menentukan masa depannya sendiri di atas tanah leluhur mereka. Hanya melalui kebebasan hak politik kita sebagai bangsa yang berdaulatlah yang akan menentukan semua lini kehidupan orang Papua di kemudian hari.

Perjuangan tersebut bukanlah hal yang mudah. Dengan berpijak pada pembahasan di atas. Dihai akan berbagi 6 hal mengapa para aktivis yang memperjuangkan hak politik Papua itu patut kita hargai. Tidak perlu seberapa besar mereka saling kontra antara organ satu dengan yang lainnya. Tidak perlu ukuran besar dan kecilnya perjuangan mereka terhadap Papua karena semua itu adalah masalah internal. Yang terpenting, adalah kesediaan dan kesetiaan mereka untuk berkorban atas ideologi yanng telah berusia setengah abad lebih. Meski jumlah dan kekuatan  mereka berbanding terbalik dengan kekuatan penguasa.

Pertama-Kehidupan dewasa ini membuat persaingan semakin ketat. Otomatis kebutuhan pun semakin tinggi. Mereka yang sungguh-sungguh berjuang untuk hak politik Papua adalah orang-orang yang sadar dan mengerti konteks Papua. Yah... mereka mengorbankan segalanya. Keluarga, waktu, tenaga, dan termasuk juga keselamatan nyawa mereka.

Dihaimoma Menulis
Semakin dalam anda melihat ketidak adilan. Semakin banyak pula ketidakadilan yang akan tampak di mata anda. Semakain tenang dalam kenyamanan, maka semakin buta terhadap situasi sosial politik yang kadang meminta nyawa. Artinya, mereka yang pasang badan di jalan dan memimpin barisan dan mengorbankan kepentingan pribadi  adalah mereka yang benar-benar sadar dan memahami hak politik orang Papua dari sudut pandang sejarah, kekinian, dan di masa depan. Di mata mereka begitu nampak dengan jelas pemandangan bumi Papua yang terus dikuras. Penangkapan, penganiayaan, dan pembunuhan orang Papua begitu nyata mereka saksikan. Dan bahkan mereka mengetahui, penduduk Papua hari ini sedang berkurang dan akan jadi seperti apa Papua puluhan tahun kedepan jika Papua terus dalam NKRI

Mereka bersuara karena mereka paham dan semua itu tampak nyata dihadapan mereka.
Kedua- Suara dan tindakan mereka bukan hanya mewakili tulang-belulang orang Papua yang di atar paksa oleh timah panas tetapi juga mewakili segenap akar rumput rakyat Papua. Dari  yang sudah terlahir mapun yang akan terlahir. Baik yang diam maupun yang bersuara.

Mereka ini benar-benar memahami situasi Papua saat ini. Mereka rela menjadi manusia jalanan yang mencari kebebasan. Mereka relah melakukan apapun demi keselamatan orang Papua dan isinya dikemudian hari. Mereka menjadi suara bagi kaum tidak bersuara. Mereka merupakan simbol kebebasan yang rela memberi Kan dirinya demi sebuah keberlangsungan dan kehidupan manusia Papua dikemudian hari sebagai bangsa yang berdaulat.

Ketiga-Banyak orang menganggap mereka sama halnya dengan orang-orang yang tidak punya pekerjaan atau manusia-manusia jalanan yang tidak lebih berguna dari orang yang berdasi. Atau orang-orang bodok yang berdiri dijalan mengemis kebebasan. 

Anda dan saya perlu menggaris bawahi suatu kenyataan bahwa mereka ini adalah orang-orang yang memilih mengutamakan kebenaran dan kepentingan banyak orang, berani bersuara demi kepentingan mayoritas rakyat Papua. Mereka adalah orang-orang yang berani menyuarakan kebenaran dimasa lalu. Lebih jauh lagi mereka ini memahami kondisi dunia saat ini.  Mereka sadar mereka bukan lagi di rahim ibu yang menakdirkan kita untuk berjuang untuk demi keselamatan diri melawan jutaan sperma. Mereka sadar bahwa kehidupan ini penuh ketidak adilan dan harus diperjuangkan demi keselamatan jutaan orang.
Sederhananya, mereka paham jika di rahim ibu kita berjuang melawan jutaan benih sperma demi keselamatan diri. Sekarang sudah waktunya berjuang melawan ketamakan diri demi keselamatan jutaan generasi dalam keterbatasan kualitas dan juga kuantitas mereka. Kesadaran membentuk mereka bahwa sudah waktunya untuk mereka mengorbankan diridemi kebebasan dan kemakmuran jutaan generasi Papua dihari ini dan yang dimasa yang akan datang.
Dihaimoma Menulis
Sumber: holandianew/Musa Mako Tabuni
Keempat-Dari sudut pandang agama nasrani mereka adalah penyelenggara keimanan sesungguhnya. Mereka bersuara di jalan-jalan, di depan meja penguasa, dan  terus berdiplomasi. Mereka berjuang tanpa kekerasan dan terus bersuara meski terus dibunuh dan diburuh. 


Dihai bukan ahli kita sucib atau ahli agama tetapi Dihai yakin bahwa keimanan kristen yang sesungguhnya ada bukan ketika kita merasa memiliki Tuhan Yesus. Bukan juga ketika kita merasa kita bertuhan atau ketika kita menangis bersedih dan berseru untuk terus menyebut nama Tuhan Yesus.  Keimanan sesungguhnya adalah dalam kekurangan dan keterbatasan kita. Kita mampu menaruh suatu kebenaran di atas kepentingan pribadi. Ketika kita mampu berjuang demi mereka yang tertindas dan ketika kita berani bersuara demi keselamatan banyak orang. Tidak perlu seberapa besar hasilnya tetapi yang terpenting kita melakukan.  Poin ini benar-benar melekat pada diri para manusia jalanan meski mereka tahu jumlah mereka satu banding sejuta. Mereka tetap bersuara di jalan dan di hadapan meja para penguasa.
Tinggalkan lagu lama itu, juga pembicaraan mengenai penyucian diri. Kepada siapa kau tujukan pemujaan dalam sudut sepi dan gelap di kuil, vihara, gereja, masjid, atau tempat ibadah lainnya dengan semua pintu tertutup? Buka matamu dan lihat Tuhanmu tidak ada di hadapanmu. Dia ada di sana. Di tempat para peladang yang membajak tanah yang keras, dan di tempat para pembuat jalan setapak yang memecah batu-batu. Dia bersama mereka dalam panas dan hujan, dengan pakaian yang berlumur debu. Lepaskan jubbah sucimu seperti mereka yang didekat-Nya, dan bergumullah dalam tanah berdebu[6]
Kelima-Kondisi Papua saat ini membuat kita hidup bukan hanya dalam tekanan tetapi juga dalam kenyataan bahwa harapan hidup kita samakin menipis. Kita mati bukan hanya karena penyakit sosial tetapi juga karena pembunuhan dan penembakan. Bukan hanya itu, kita hidup di era pendidikan kapitalis yang terus membentuk mindset manusia menjadi materialis dan hedonis. 

Kita hidup di era pendidikan yang menuhankan kemakmuran kelompok dan kaumnya lebih utama dari keadilan dan kesejahteraan umum. Kita dididik atas pendidikan yang korup. Pendidikan yang terus membentuk kita menjadi individualis. 

Sumber: medialokalpapua/Rinto Kogoya
Menurut  drg Untung "Usia harapan hidup di Indonesia meningkat dari 68,6 tahun di 2004 menjadi 70,8 tahun di 2015. Pada tahun 2035 diperkirakan meningkat lagi menjadi 72,2 tahun.[7]
Penduduk Papua saat ini telah berkurang di tanah Papua. Kita berkurang bukan hanya persoalan kualitas tetapi juga kuantitas. Harapan hidup orang Indonesia mencapai  70,8 tahun di 2015. Dengan ini dapat kita bertanya bagaimana dengan harapan hidup orang Papua dewasa ini yang terus terisolir dan dilanda berbagai penyakit sosila yang tidak lain akibat dari sistem koloni di Papua.

Para aktivis yang terus berjuang demi hak politik orang Papua adalah mereka yang sadar bahwa kebebasan Papua secara politik merupakan langkah mendasar untuk anak cucu kita mencapai kebebasan lainnya. Bebas dari hutan Papua yang terus gundul, bebas dari bumi Papua yang terus dikuras, bebas dari sistem yang terus  menghapus  nilai-nilai kebudayan dan bebas dari sistem yang membuat orang Papua menjadi klen-klen kecil,  marga, suku, dan wilayah.

Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa mereka yang hidup di jalan merupakan orang yang relah mati demi kelangsungan dan kebebasan jutaan anak cucu kita dikemudian hari. Seharusnya, seorang aktivis itu suci tanpa terlibat dalam kepentingan pribadi dan kenakalan penyakit sosial lainnya. Karena mereka adalah orang-orang yang sadar akan kondisi Papua dimasa lalu, hari ini, dan kehidupan anak cucu kita di masa yang akan datang. Dengan demikian itulah kelima alasan mengapa para aktivis Papua patut dihargai, yang dapat Dihai bagikan. 

Bagaimana tanggapan anda setelah membaca artikel ini?

Beberapa sumber bacaan:


[1] Ach.Maimun, Pergulatan Sains dan Sritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), halm 18.
[2]Kompas .com Online edisi 27/11 2016]
[3] Jujun Suriasumantri,  Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka  Sinar Harapan, 2013 ), halm 229.
[4]Ach.Maimun,  Pergulatan Sains dan Sritualitas Menuju Paradigma Kosmologi Alternatif, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), halm 69.
[5] Jujun Suriasumantri,  Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka  Sinar Harapan, 2013 ), halm 234
[6] Abullah Wong,  Mata Penakluk, (Jakarta Selan: Expos PT. Mizan Publik, 2015 ), halm 32


[7]  Detik.com, online edisi 26/05/2016

 

Related Posts

Comments

  1. Keren untuk artikelnya, moga menjadi inpirasi kita bersama dan saling mengsupor kepada sesama dan terlebih kepada mereka yang telah berjuang dan masih berjuang mengorbankan segalahnya untuk orang banyak. GBU.

    ReplyDelete

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter