-->

6 Poin ini Sering Membuat Orang Non Papua Berprasangka Buruk Sama Orang Papua,Seharusnya Mereka Belajar Dari Gus Dur

1 comment
Dihaimoma.com

Percaya atau tidak, kata Papua sempat diharamkan pemerintahannya Ir. Soekarno - BJ Habibie. Pada kurung waktu itu, orang Papua menyebut kata Papua saja dilarang, Apa lagi berteriak Papua merdeka dan berpakaian bermotif bintang kejora, sudah pasti bersahabat dengan trali besi dan bahkan tidak jarang berujung pada kehilangan nyawa, sebuat saja Arnold C Ap. Beberapa orang tua Papua sering bercerita, kalau  dulu menyebut kata "Papua" saja dilarang karena selalu dikaitkan penguasa dengan persoalan politik yang masih  terus mengusik ketenangan Jakarta hingga kini.

Seingat saya nama pulau emas yang identik dengan Irian Barat/Irian Jaya itu dikembalikan kenama asalnya, "Papua" oleh presiden KH.Abdurrahman Wahid pada 1 Januari 2000 silam. Entah apa yang menginspirasi sang bapak Pluralaris  sekaligus Kiyai karismatik ini, tentunya masih menjadi misteri hingga kini. Tetapi, jika boleh berandai saya akan menyebut tiga hal mendasar mengapa hal itu bisa ia lakukan?

Pertama-Tentu beliau ini berasal dari kalangan pesantren dan terlahir dalam keluarga kiai yang bijik sana dan dididik oleh para kiai yang tentunya menjungjung tinggi nilai agama dan kemanusia.

Kedua-Semua bekal ilmu yang ia geluti mampu membentuknya menjadi salah satu tokoh sekaligus Guru bangsa yang selalu dikagumi banyak kalangan. Terutama, tentang jurus humornya yang selalu mengandung nilai filosofis. Bagi saya, Gus Dur adalah bapak demokrasi sekaligus humanis yang lebih dewasa dari demokrasi kita saat ini.

Ketika- Proses Gus Dur mengangkat jati diri orang Papua yang sempat diinjak penguasa sebelumnya ini pasti dengan dasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, yang tentunya mengacu pada bagian huruf "h". Gus Dur menganggap bendera bintang kejora sebagai bendera kultur, lagu-lagu, dan nama Papua juga merupakan simbol kultur. Hal ini pula yang disaksikan Fredi Numberi pada saat Wiranto melapor kasus pengibaran bintang kejora di Papua kepada Gus Dur waktu itu.
"Bintang kejora bendera kultural. Kalau kita anggap sebagai bendera politik, salah kita  sendiri," kata Gus Dur, Baca lebih lanjut ceritanya (di sini))
Berbeda dengan Gus Dur, saat ini di Papua jangankan  pengibaran bendera bintang kejora, orang Papua mengenakan noken atau baju bermotif bintang kejora saja di diskriminasi. Lebih anehnya lagi, ketika orang Papua gimbal dan brewokan saja disangka OPM dan bahkan tidak jarang harus berusan dengan hukum. 

Berangkat dari persoalan yang terjadi itulah, berikut ini Dihai akan berbagi 6 poin yang sering membut orang non Papua berprasangka buruk sama orang Papua, mereka ini seharusnya bejar dari Gus Dur jika ingin Papua tetap dalam NKRI.


Ketika melihat Orang Papua berambut gimbal, brewokan, berjanggut dan mengenakan barang bermotif bintang kejora saja langsung menempatkan mereka pada porsi yang setara dengan penjahat yang mengganggu kedaulatan, terutama selalu dikaitkan dengan OPM. 
    Satu poin yang hanya bisa dirasakan orang Papua yang berada di Papua saat ini adalah masalah kebiasaan orang Papua yang dikonotasikan sebagai simbol perlawanan. Kebiasaan itu seperti berambut gimbal, brewokan, dan mengenakan noken atau baju bersimbol bintang kejora. Dari beberapa informan yang saya hubungi mereka bercerita bahwa di Papua orang yang berambut gimbal dan brewokan sering disangka OPM oleh TNI/PORLI.
    Dihaimoma menulis

    Hal semacam ini Dihai sendiri pernah rasakan, ketika pergi menonton laga pertandingan antara Persipura dan salah satu klub diluar Papua di stadion Mandala Jayapura tahun 2013. Ketika masuk masuk stadion, saya diperiksa sampai mendendalam, muai dari saku celan sampai dengan seluruh isi tas. Padahal sekirar 20 orang yang mendahului saya hanya diperiksa dengan tiga sampai empat kali sentuhan dibadan. Tentu saja hal itu wajar, karena waktu itu saya gimbal dan brewokan. Saya hanya bergurau ketika tas saya diperiksa sampai kedalam-dalamnya," awas Pak, ada bom buku!".

    Satu hal yang lucu tapi menjijikan adalah razia atribut bintang kejora. Mulai dari noken bermotif bintang kejora, baju, celana, dan bahkan gelang. Hal semacam ini mayoritas dilakukan oleh TNI/PORLI, Misalnya, beberapa bulan lalu gabungan TNI/PORLI melakukan razia barang bermotif bendera bintang kejora di Kabupaten Dogiyai, dalam razia itupulah polisi turut mengamankan berbagai peralatan kebun yang notabenenya masyarakat gunakan sebagai sarana berkebun. Selain itu di kabupaten Paniai satu tahun lalu yang mana isi handpone sampai dengan laptop pun diperiksa. Jika terdapat gambar, lagu, atau video tentang organisasi Papua merdeka barangnya langsung di sita.
    Satu hal yang pasti adalah mereka lupa, jika sebenarnya perbuatan mereka itu sedang menabur benih kebencian yang terus memperkuat perlawanan masyarakat Papua.
    Baru mendengar diberita atau membaca artikel di media, langsung melabeli Orang Papua dengan 3 S. Suka mabuk, suka perang suku, dan suka kasar/ jahat. 
      Kekurangan terbesar masyarakat Indonesia adalah mengakui kesimpulan sementara sebagai kebenaran mutlak. Jika kita analogikan dalam sebuah penelitian, maka hal ini serupa dengan mengakui hipotesis sebagai kebenaran mutlak.

      Contoh lain dalam kasus semacam ini adalah ketika mendengar Ula ISIS di berbagai negara. Banyak orang  non Muslim memandang Agama Islam sebagai Agama yang kejam. Hal ini telah banyak melahirkan Islam Fobia di dunia barat, tidak terkecuali Indonesia. Padahal tidak demikian, mereka yang bertingkah begitu hanya segelintir orang.

      Dalam kasus semacam ini, kita  dituntut untuk terus belajar agar menjadi akademisi yang tidak semudah dan semurah itu dalam berkesimpulan. Ilmu pengetahuan mengajari kita untuk objektif, bukan pukul rata. Jika tidak demikian, hanya dua hal yang perlu kita lakukan, pertama belajar dan terus belajar untuk menemukan kebenaran yang objektif. Kedua mending kita diam dan mengikuti perkembangan tanpa berkesimpulan.

      Kasus semacam inilah yang saat ini terjadi di Papua, khususnya dalam paradikma beberapa orang non Papua memandang Orang Papua. Ketika melihat berita perang suku di Papua atau konflik antara TPN/OPM dan TNI/ PORLI di Papua banyak dari orang non Papua masih takut untuk ke Papua dan bahkan mereka selalu menanyakan hal-hal itu ke orang Papua yang mereka temui.

      Ketika melihat Orang Papua hadir dengan segalah ketradisionalannya, mereka selalu beranggapan bahwa orang Papua itu masih tertinggal, primintif dan bahkan  sampai saat ini mungkin masih ada yang menganggap ada suku kanibal di Papua.
          Satu hal yang menjadikan Papua itu unik karena kebudayaannya masih otentik dan dipertahankan sampai saat ini, meski saat ini mungkin mulai terkikis oleh arus zaman. Tapi anda harus tahu, kebudayaan berkoteka, moge, dan juga noken saat ini bukan lagi dipandang primitif, malah diminati banyak kalangan. Terutama ketika berpose dengan pakaian adat Papua dipopulerkan oleh manyak kalangan anak muda Papua. Bisa jadi besok, kalian yang suka memandang pakaian adat Papua sebagai sesuatu yang tertinggal dan primitif kepengin berpose dengan busana khas Papua yang unik ini.

          Dihaimoma Menulis
           Fashion Style Papua [Image: Source]
          Soal pakaian adat orang Papua dipandang primitif dan tertinggal ini bukan hal yang baru terjadi di Indonesia, tetapi sudah dimulai pada masa pemerintahannya Soerharto. Waktu itu terjadi operasi koteka besar-besaran di Papua dan diganti dengan baju. Bahkan orang Papua yang mengkonsumsi makanan tradisioanl dipandang tertinggal dan primitif sehingga digantikan dengan beras melalu program pemerintah yang bernama revolusi hijau. Nampaknya, semua itu belum mampu membunuh kebudayaan Papua yang sekarang lagi ngetrend ini.

          Apakah anda tertarik mecobanya?


          Papua sudah diutamakan pemerintah pusat, sekarang mintanya apa?
            Dalam hal ini ketika kita melihat Papua hanya dengan satu kaca mata, maka selama itu pulah kita akan seperti itu terus terhadap orang Papua. Cobah, buka kaca mata Jakarta dan lihat masyarakat Papua dengan kacamata orang Papua. Anda akan tau bagaiman rasanya diberikan ular ketika meminta roti.

            Papua terus bergejolak karena masalah yang multidimensi, terutama soal kesalah-kesalah Indonesia atas Papua di masalah lalu yang terus menjadi duri dalam daging yang tak kunjung diangkat.

            Baca Juga: 
            1. Menggali Persoalan Mendasar Keberadaan Indonesia di Papua Bermasalah
            2. Memahami Kesalahan Di Masa Lalu dan Akar Persoalan Di Tanah Papua
            Satu hal yang pasti adalah pembangunan di Papua sedikit nampak ketika tuntutan untuk orang Papua melepaskan diri dari Indonesia terus mendunia. Artinya, program dari Jakarta seperti otonomi khusus itu pun lahir dari tuntutan Papua untuk merdeka. Papua diberikan otonomi khusus dan Timur Leste di berikan referendum. Jadi yang pasti adalah Jakarta tidak mungkin berpikir untuk memberikan otonomi dan pembangunan seperti yang saat ini untuk orang Papua jika saja Papua diam dan tidak bersuara. 

            Lalu apakah pembanguan itu berhasil sepenuhnya untuk orang Papua?

            Untuk menjawab pertanyaan ini tidak usa jauh-jauh, kita tinjau saja dari segi pendidikan. Saat ini di Papua banyak gedung sekolah yang nganggur karena tidak ada tenaga pengajar. Di Papua bukan hal yang di luar nalar jika satu SD, SMP, atau SMA hanya diajar oleh dua sampai tiga guru. Sukur-sukur ada guru, saat ini banyak sekolah yang atap serta halamannya ditumbuhi ilalang. Di beberapa wilayah Papua, kasus semacam ini terkadang menjadi pemandangan yang harus di bayar dengan air mata. Tentunya, bagi mereka yang berhati mendidik.

            Dihaimoma Menulis
            Berikami 1000 Guru [Imege:Source]
            Sebaiknya mungkin akan lebih produktif jika kuantitasnya relatif tetapi kualitasnya teruji. Hal itu berlaku juga untuk tenaga pengajar dan juga yang berkaitan dengan gedung sekolah. Tetapi akan Lebih istimewah jika kualitas dan kuantitas seiring dan seimbang.
            Papua itu kekayaan alamnya berlimpah, tapi orang-orangnya itu miskin, tertinggal, bodok dan cenderung konsumtif

            Pandangan seperti ini cenderung mengakar juga dibenak beberapa orang non Papua. Satu tahun lalu ketika Dihai di Bandung. Ada seorang adik perempuan dari Papua sempat bercerita tantang perkatan dosennya. Seingat saya, pernyataannya tidak beda jauh dengan poin lima di atas ini. Hal yang wow bagi saya adalah pernyataan itu dikeluarkan oleh seorang akademisi. Tapi secara awam, wajar saja karena mungkin ibu yang bersangkutan  melum mengenal Papua secara mendalam.

            Selain itu mungkin saja Ibu ini lupa, jika selama ini banyak generasi mudah Papua yang sudah mengharumkan nama Indonesia dengan prestasi di dunia Internasional, sebut saja Septinus George Saa yang merai nobel dalam bidang fisika dan masih banyak lagi. Dalam konteks seperti ini jika mengacu pada pendapat Prof. Yohanes Surya maka benar sebenarnya tidak ada anak yang bodoh. Yang ada hanya anak yang kurang beruntung mendapat kesempatan untuk belajar dari guru yang baik dan metode yang benar. Tapi, mungkin Ibu dosen ini lebih paham sehingga  berani mengeluarkan pernyataan seperti ini.

            Soal kemiskinan dan ketertinggalan di Papua belum lama ini saya mengikuti sebuah diskusi yang dibawakan oleh Rigo Detto salah satu mahasiswa Pasca IPB, tentang"radikalisme dalam konteks agraria di Papua. Pada diskusi itu, ia menjelaskan bahwa dari sudut pandang ilmu sosial masyarakat, untuk mengalisis kemiskinan terdapat dua teori yang sering digunakarukan. Teori struktural dan teori modern. Dari kacamata modern ini, memandang bahwa kemiskinan dan ketertinggalan terjadi  karena budaya malas dan tentunya masih akrab hidup dengan hal-hal tradisonal. Sedangkan dari kacamata struktural kemiskinan terjadi karena kebijakan yang tidak memihak pada kelompok masyarakatnya.

            Jika kita mengacu pada dua terori ini untuk memandang Papua maka siapa yang salah dan apa yang salah? Analoginya, dari kaca mata modern tentu memaksa masyarakat Papua yang berada pada tingkat satu dipaksa untuk melangkah langsung ketingkat enam. Sedernananya, orang Papua diberikan motor dan langsung disuru kendarai tanpa diberitahu apa itu motor? dan bagaimana menggunakannya?Sedangkan dari kaca mata struktural, di Papua masih identik dengan istilah 3P (Papua tipu Papua, Papua tipu Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Pusat Tipu Papua)

            Proses ini tentu membuat masyarakat Papua terpuruk, ketika orang Papua hadir apa adanya dianggap primitif dan tertinggal. Ketika orang Papua ingin maju dan berkembang pemerintah tidak memihak masyarakat Papua. Kalau sudah begitu jalan terbaiknya adalah Papua harus diberikan kebebasan untuk mengurus masa depannya sendiri.

            Gus Dur paham akan Indonesia, ia berani untuk melangkah demi sebuah perubahan dan tentunya pandai menundukkan hati orang Papua yang terus dibakar oleh pemerintahan sebelumnya. Ia paham bahwa menjaga kerusakan lebih baik daripada mengambil keuntungan. 

            Dalam hal mempertahankan Papua dalam NKRI metode yang digunakan  Gus Dur sangat efektif. Ia tidak membutuhkan waktu yang cukup lama sepeti saat ini untuk membangun kepercayaan orang Papua terhadap Indonesia. Ia membuat rakyat Papua merasa dihargai dan bahkan Ia berhasil menyatuhkan berbagai suku dan bahasa di Papua. Proses ini tentunya dilakukan tanpa orang Papua menyadari bahwa Gus Dur sedang mengajak rakyat Papua untuk mencintai Indonesia.

            Mengapa metode itu efektif?

            Hal paling mendasar adalah orang Papua merasa harkat dan martabatnya diijak dan dihacurkan oleh pemerintahan sebelumnya tetapi berhasil diangkat oleh Gus Dur. Salah satu contohnya, jika anda bertanya masyarakat Papua dengan dua pertanyaan. Apakah anda orang Papua? dan  apa anda orang Irian? maka sejak dulu orang Papua akan merasa dihargai jika disebut orang Papua.

            Gus Dur memandang bendera dan segalah atribut Papua merdeka sebagai simbol kultul dan panji kebesaran orang Papua yang bersifat kedaerahan, sebagaimana tertuang dalam UU otonomi. Sehingga terjadi timbal bali, orang Papua merasa dihargai dan memiliki Indonesia sehingga pasti saja proses politik perjungan kemerdekaan Papua berujung seperti Aceh yang berakhir di atas meja kesepakatan.

            Lalu apa yang akan terjadi?

            Sejauh ini kita ketahui 6 ramalan Gus Dur sudah menjadi nyata. Mulai  dari Ia sendiri akan jadi presiden RI, Jokowi jadi presiden sampai dengan Ahok jadi Gubernur. Ada satu ramalan khusus untuk Papua yang saat ini sedang menuju kenyataan. Gus Dur menganggap bendera bintang kejora sebagai simbol kultur. Katanya, jika kita menganggap itu sebagai bendera politik, maka salah kita sendiri. Artinya, selama Jakarta terus melihat Papua dengan kacamata Jakarta, maka jangan kaget besok Papua akan menjadi Timur Leste kedua.

            Salahnya dimana? Cara Jakarta memandang Papua.

            Gus Dur paham menghancurkan lebih mudah dari pada membangun kepercayaan suatu masyarakat yang sejak dulu terluka. Dan hal itupulah yang sedang terjadi di Papua saat ini. Jakarta semakin menekan Papua maka semakin subur pulah perlawanan itu akan tumbuh. Gus Dur mampu menundukan hati orang Papua yang sedang terbakar amarah dan dengki dalam sebulan bukan dengan Daerah Operasi Milite (DOM), pembangunan MAKOBRIMOB, pemekaran Provinsi, apalagi dengan Pasukan bersenjatakan AK. Ia menyentuh hati rakyat Papua dengan kasih dan kemanusiaa. Ia mengerti, mata ganti mata hanya akan membuat dunia menjadi buta- Mahatma Gandhi-
            Pertanyaanya, akankah paradikma Jakarta memandang Papua akan turut mengabulkan ramalan Gus Dur? Mari kita ikuti perkembangan selanjutnya! Terima kasih.

            Related Posts

            Comments

            Post a Comment

            Subscribe Our Newsletter