Perkembangan Ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi di zaman modern dan mengglobal ini kita akan menemukan satu hal yang hapir di lupakan oleh orang Papua. Hal itu adalah Rusaknya ekologi lingkungan hidup yang menjadi penyedia kebutuhan primer maupun sekunder bagi orang Papua sejak dahulu. Persolan ini terjadi karena saat ini orang Papua terobsesi dan haus akan pembangunan dan kemajuan.
Pembangunan dan kemajuan itu harus di dipenuhi agar orang Papua hidup layak seperti halnya bangsa-bangsa yang telah maju di bumi ini, namun obsesi yang berlebihan akan kemajuan itu membuat mereka (orang Papua) terpesona oleh semua yang datang dari luar Papua. Terutama obsesi itu membuat lingkungan yang telah menjadi Ibu bagi orang Papua selama berabad-abad, hancur bersama ekologinya.
Pandangan yang saat ini terjadi di Papua merupakan pengaruh dari paradikma sains dan teknologi modern yang membuat tanah, hutan, batu, dan fauna yang terdapat dalam wilayah itu hanya di pandang sebagai sumber pemuas kebutuahan manusia.
Saat ini belum muncul tanda-tanda kehancuran itu. Beberapa puluh tahun kedepan bukan tidak mungkin wilayah itu menjadi kota metropolitan bahkan megapolitan yang secara langsung akan menggeser keteraturan yang terjadi secara alamiah dalam sistem ekologi di wilayah Papua.
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh seorang ahli biologi Jerman Ernst Haekel yang mengartikannya sebagai ilmu tentang relasi antara organisme dan dunia luar sekitarnya. Bersama dengan itu pula digunakan istilah lingkungan hidup yang harus di pahami dalam pengertian sebagai padanan yang tak terpisahkan antara hidup dan lingkungan atau lingkungan dan hidup yang terkait satu sama lain di antaranya [1]
Kutiapan ini mengajak kita untuk memahami bahwa sebenarnya ekologi berkaitan dengan kehidupan organisme (termasuk juga manusia), ekosistem, serta intraksi di antaranya. Sedangkan ekosistem sebagai sebuah komunitas organisme dan berintraksi dengan lingkungan fisik sebagai sebuh unit ekologis.
Jadi secara keseluruan kutipan diatas ingin memperjelaskan bahwa dalam ekologi terdapat, intraksi, keterkaitan, saling mempengaruhi, dan membentuk jaringan yang kompleks antara ornanisme dan ekosistem yang mendukungnya. Menurut Sonny Keraf mengacu kepada kutipan Cpra merumuskan tiga aspek utama kajian ekologi yaitu organisme, intraksi dan komunitas ekologis merupakan satu pemahaman yang terkait satu sama lain (Sonny Keraf, 2014:45).
Persolan lingkungan (kerusakan ekologi) ini sebenarnya bukan hanya menjadi persolan nasional tetapi telah menjadi persolan yang mengglobal dan banyak pemikir dunia yang berpandangan kehancuran ekologi yang menimpa bumi kita ini disebabkan oleh krisis paradikma sains dan teknologi modern.
Pandangan dan tawaran mereka (Para Intelektual) untuk merekontruksi tubuh sains dan teknologi modern. Hal ini, bisa kita lihat dari padangan Thomas Kuhn, Fritjof Capra dan Nasr. Mereka secara konsisten menawarkan sains berparadikma baru, dalam artian mereka menekankan cara pandang sains dan teknologi modern harus diubah dengan begitu akan mengubah cara pandang manusia modern terhadap kehidupan di bumi.
Menurut mereka sejak abad-ke 16 -17 - 18 dan 19, pandangan abad pertengahan yang memandang alam semesta bersifat organis dan alam semesta dianggap sebagai sesuatu yang hidup serta memiliki pancaran Ilahi telah di ubah sebagai sebuah mesin yang bergerak secara mekanistik. Sejak Perubahan paradikma inilah yang membuat krisis multidimensi pada lingkungan bumi kita.
Contoh-contoh itu terlalu besar, yang lebih simple lagi misalnya. Di tempat saya tinggal, Ibu kost memelihara burung dalam sangkar, hutan kota seperti Kebun Raya Bogor. Satu hal yang terbayang di benak saya ketika melihat burung dalam sangkar. Saya tahu bahwa ibu kost rindu akan kicau burung dan burung itu hidup bukan pada habitatnya yang seharusnya burung itu dapat terbang bebas sembari mengepakan sayapnya. Ketika orang berbondong-bondong kehutan kota (kebun Raya Bogor) saya anggap ini menunjukan orang rindu akan pohon dan kesejukan alamiah.
Pada dasarnya semua itu terjadi karena ulah manusia yang menjadi tokoh sentral di alam raya ini.
Kerusakan ekologi di Papua pada umumnya terjadi karena kesalahan paradikma pemerintah yang memandang kemajuan pembangunan dan kemajuan sumber daya manusia semata-mata hanya bisa di capai melalui pemekaran dan pembukaan lahan sebesar-besaran sebagai jalan masuknya peradaban modern. Padahal dampak positif dari paradikam sains dan teknologi modern sama besarnya dengan dampak negatif yang di timbulkan.
Saat ini belum terasa kerusakan ekologi di Papua tetapi bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan hal itu akan terjadi. Apa lagi pemerintah kita saat ini memfokuskan program-program mereka hanya pada pembukaan lahan besar-besaran untuk kepentingan eksploitasi melalui pemekaran dengan alasan membangun Papua.
Alasan yang lazim digunakan oleh mereka adalah membangun sumber daya manusia melalui, pendidikan, perekonomian, kesehatan dan semua tatanan kehidupan manusia Papua. Padahal kedua provinsi dan beberapa kabupaten tertua di Papua saja masih kontraproduktif.
Pemerintah Papua tidak memahami bahwa di alam ini sebenarnya terjadi sebuah hubungan timbal balik. Manusia dengan lingkungan saling membutukan dan saling mepengaruhi. Keseimbangan dalam ekologis perlu untuk dijaga dan dirawat. Hanya degan begitu, akan membawa kehidupan bumi ini pada keseimbangan dan itu juga artinya bahwa kita turut memperpanjang umur bumi kita ini.
Ketidak seimbangan dalam ekologis di Papua akan membuat kehancuran dan kerusakan. Bukan hal mustahil beberapa tahun kedepan orang akan mendengar kicau burung surga (cendrawasih) dalam rekaman dan gambarnya di Internet. Karena ditebang habis bukan tidak mungkin anak cucu kita akan mengetahu pohon matoa dan besi (nama local dari sejenis pohon ) dalam bentuk papan atau balok di kursi sekolah. Atau dari gamabar dan foto di internet. Pada dasarnya semua itu merupakan tugas manusia, karena manusia menempati posisi pertama dari semua yang hidup di bumi ini.
Kesalahan paradikma pemerintah dalam memandang Alam Papua, berdampak pula pada masyarakat Papua. Masyarakat Papua memandang alam disekitar mereka sebagai pemuas kebutuan dan bukan lagi sebuh penunjang kehidupan bagi mereka. Masyarakat menjual tanah, kayu, batu, dan fauna untuk memenuhi kebutuahan mereka yang kian menumpuk. Hal ini terjadi karena meraka tidak mampu menutupi kebutuan yang kian menumpuk pula.
Persolannya apakah pemerintah telah menjawab kebutuhan masyrakat agar masyarakat memandang lingkungan mereka (alam raya) bukan lagi hanya sebagai penunjang kebutuhan tetapi juga sebagai penunjang kehidupan dalam sisitem ekologis. Apakah pemerintah telah mengolah alam Papua dengan merawatnya, atau malah mengekspoitasi hanya untuk menikmati hasilnya?
Menurut Capra, alam disadari sebagai mempunyai dimensi spritual dan religious sebagaimana di pahami dalam agama-agama timur (Keraf:2014-85). Lebih lanjut Ia memandang alam semesta sebagai sebuah sisitem kehidupan yang utuh.
Menurut Sonny Keraf mengacu kepada kutipan capra, kita diajak untuk kembali memahami dan menghayati alam sebagai mana di pahami dan dihayati oleh masyarakat adat di seluruh dunia dengan kearifan lokalnya. Alam bagi masyrakat adat disini dipahami sebagai satu kesatuan asasi dengan kehidupan manusia. Melihat alam berarti melihat kehidupan, berarti juga melihat kehidupan manusia itu sendiri dan merusak alam berarti merusak kehidupan berarti juga merusak kehidupan manusia itu sendiri (Sonny Keraf, 2014-86)
Dari pandangan di atas dapat memperjalas bahwa alam tidak semata-mata di pandang sebagai penghambat pembangunan maka sumber daya alam harus di ekspoitasi besar-besaran, tetapi penekananya lebih pada bagaiman pembangunan dan alam dapat bersahabat.
Apartemen mewah yang berpuluhan tingkat. Jalan beraspal dengan berjuta kendaran berlalu-lalang. Pasar dan ruko yang bertingkat merupakan kemajuan peradaban modern tetapi juga merupakan kerusakan jaringan ekologis yang terjalain secara alamiah.
Dengan demikian untuk memajukan orang Papua tanpa merusak sisitem ekologi di Papua membutukan kajian yang mendalam dan dapat di pertanggungjawabkan.Selain itu para subjek pembangunan membutukan pengetahuan yang sangat memadai agar mereka dapat menerapkan pembangunan yang bersabat dengan Alam.
Persoalan ini merupakan persolan paradikma pemerintah yang memandang alam sebagai pemuas kebutuhan manusia, bukan lagi alam dipandang sebagi penyedia kehidupan manusia. Oleh karena itu pemerintah Papua yang harus mengubah paradikma lama. Mengubah dalam hal memandang alam Papua sebagai bagian tidak terpisakan dari manusia dan manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Merusak alam berarti merusak kehidupan manusia itu sendiri.
Beberapa Daftar Bacaan:
[1] Keraf, S. 2015. Filsafat Lingkungan Hidup, Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan (bersama Fritjop Capra). Yogyakarta: Kanisius.
Pembangunan dan kemajuan itu harus di dipenuhi agar orang Papua hidup layak seperti halnya bangsa-bangsa yang telah maju di bumi ini, namun obsesi yang berlebihan akan kemajuan itu membuat mereka (orang Papua) terpesona oleh semua yang datang dari luar Papua. Terutama obsesi itu membuat lingkungan yang telah menjadi Ibu bagi orang Papua selama berabad-abad, hancur bersama ekologinya.
Pandangan yang saat ini terjadi di Papua merupakan pengaruh dari paradikma sains dan teknologi modern yang membuat tanah, hutan, batu, dan fauna yang terdapat dalam wilayah itu hanya di pandang sebagai sumber pemuas kebutuahan manusia.
Saat ini belum muncul tanda-tanda kehancuran itu. Beberapa puluh tahun kedepan bukan tidak mungkin wilayah itu menjadi kota metropolitan bahkan megapolitan yang secara langsung akan menggeser keteraturan yang terjadi secara alamiah dalam sistem ekologi di wilayah Papua.
- Mengapa terjadi Kerusakan ekologi di bumi kita ini?
Istilah ekologi pertama kali digunakan oleh seorang ahli biologi Jerman Ernst Haekel yang mengartikannya sebagai ilmu tentang relasi antara organisme dan dunia luar sekitarnya. Bersama dengan itu pula digunakan istilah lingkungan hidup yang harus di pahami dalam pengertian sebagai padanan yang tak terpisahkan antara hidup dan lingkungan atau lingkungan dan hidup yang terkait satu sama lain di antaranya [1]
Kutiapan ini mengajak kita untuk memahami bahwa sebenarnya ekologi berkaitan dengan kehidupan organisme (termasuk juga manusia), ekosistem, serta intraksi di antaranya. Sedangkan ekosistem sebagai sebuah komunitas organisme dan berintraksi dengan lingkungan fisik sebagai sebuh unit ekologis.
Jadi secara keseluruan kutipan diatas ingin memperjelaskan bahwa dalam ekologi terdapat, intraksi, keterkaitan, saling mempengaruhi, dan membentuk jaringan yang kompleks antara ornanisme dan ekosistem yang mendukungnya. Menurut Sonny Keraf mengacu kepada kutipan Cpra merumuskan tiga aspek utama kajian ekologi yaitu organisme, intraksi dan komunitas ekologis merupakan satu pemahaman yang terkait satu sama lain (Sonny Keraf, 2014:45).
Persolan lingkungan (kerusakan ekologi) ini sebenarnya bukan hanya menjadi persolan nasional tetapi telah menjadi persolan yang mengglobal dan banyak pemikir dunia yang berpandangan kehancuran ekologi yang menimpa bumi kita ini disebabkan oleh krisis paradikma sains dan teknologi modern.
Pandangan dan tawaran mereka (Para Intelektual) untuk merekontruksi tubuh sains dan teknologi modern. Hal ini, bisa kita lihat dari padangan Thomas Kuhn, Fritjof Capra dan Nasr. Mereka secara konsisten menawarkan sains berparadikma baru, dalam artian mereka menekankan cara pandang sains dan teknologi modern harus diubah dengan begitu akan mengubah cara pandang manusia modern terhadap kehidupan di bumi.
Menurut mereka sejak abad-ke 16 -17 - 18 dan 19, pandangan abad pertengahan yang memandang alam semesta bersifat organis dan alam semesta dianggap sebagai sesuatu yang hidup serta memiliki pancaran Ilahi telah di ubah sebagai sebuah mesin yang bergerak secara mekanistik. Sejak Perubahan paradikma inilah yang membuat krisis multidimensi pada lingkungan bumi kita.
- Apa saja Tanda-tanda kerusakan itu?
Contoh-contoh itu terlalu besar, yang lebih simple lagi misalnya. Di tempat saya tinggal, Ibu kost memelihara burung dalam sangkar, hutan kota seperti Kebun Raya Bogor. Satu hal yang terbayang di benak saya ketika melihat burung dalam sangkar. Saya tahu bahwa ibu kost rindu akan kicau burung dan burung itu hidup bukan pada habitatnya yang seharusnya burung itu dapat terbang bebas sembari mengepakan sayapnya. Ketika orang berbondong-bondong kehutan kota (kebun Raya Bogor) saya anggap ini menunjukan orang rindu akan pohon dan kesejukan alamiah.
Pada dasarnya semua itu terjadi karena ulah manusia yang menjadi tokoh sentral di alam raya ini.
- Kerusakan Ekologi di Papua
Kerusakan ekologi di Papua pada umumnya terjadi karena kesalahan paradikma pemerintah yang memandang kemajuan pembangunan dan kemajuan sumber daya manusia semata-mata hanya bisa di capai melalui pemekaran dan pembukaan lahan sebesar-besaran sebagai jalan masuknya peradaban modern. Padahal dampak positif dari paradikam sains dan teknologi modern sama besarnya dengan dampak negatif yang di timbulkan.
Saat ini belum terasa kerusakan ekologi di Papua tetapi bukan tidak mungkin beberapa tahun kedepan hal itu akan terjadi. Apa lagi pemerintah kita saat ini memfokuskan program-program mereka hanya pada pembukaan lahan besar-besaran untuk kepentingan eksploitasi melalui pemekaran dengan alasan membangun Papua.
Alasan yang lazim digunakan oleh mereka adalah membangun sumber daya manusia melalui, pendidikan, perekonomian, kesehatan dan semua tatanan kehidupan manusia Papua. Padahal kedua provinsi dan beberapa kabupaten tertua di Papua saja masih kontraproduktif.
Pemerintah Papua tidak memahami bahwa di alam ini sebenarnya terjadi sebuah hubungan timbal balik. Manusia dengan lingkungan saling membutukan dan saling mepengaruhi. Keseimbangan dalam ekologis perlu untuk dijaga dan dirawat. Hanya degan begitu, akan membawa kehidupan bumi ini pada keseimbangan dan itu juga artinya bahwa kita turut memperpanjang umur bumi kita ini.
Ketidak seimbangan dalam ekologis di Papua akan membuat kehancuran dan kerusakan. Bukan hal mustahil beberapa tahun kedepan orang akan mendengar kicau burung surga (cendrawasih) dalam rekaman dan gambarnya di Internet. Karena ditebang habis bukan tidak mungkin anak cucu kita akan mengetahu pohon matoa dan besi (nama local dari sejenis pohon ) dalam bentuk papan atau balok di kursi sekolah. Atau dari gamabar dan foto di internet. Pada dasarnya semua itu merupakan tugas manusia, karena manusia menempati posisi pertama dari semua yang hidup di bumi ini.
- Pemerintahlah yang membentuk Mindset masyarakat Papua
Kesalahan paradikma pemerintah dalam memandang Alam Papua, berdampak pula pada masyarakat Papua. Masyarakat Papua memandang alam disekitar mereka sebagai pemuas kebutuan dan bukan lagi sebuh penunjang kehidupan bagi mereka. Masyarakat menjual tanah, kayu, batu, dan fauna untuk memenuhi kebutuahan mereka yang kian menumpuk. Hal ini terjadi karena meraka tidak mampu menutupi kebutuan yang kian menumpuk pula.
Persolannya apakah pemerintah telah menjawab kebutuhan masyrakat agar masyarakat memandang lingkungan mereka (alam raya) bukan lagi hanya sebagai penunjang kebutuhan tetapi juga sebagai penunjang kehidupan dalam sisitem ekologis. Apakah pemerintah telah mengolah alam Papua dengan merawatnya, atau malah mengekspoitasi hanya untuk menikmati hasilnya?
- Saran
Menurut Capra, alam disadari sebagai mempunyai dimensi spritual dan religious sebagaimana di pahami dalam agama-agama timur (Keraf:2014-85). Lebih lanjut Ia memandang alam semesta sebagai sebuah sisitem kehidupan yang utuh.
Menurut Sonny Keraf mengacu kepada kutipan capra, kita diajak untuk kembali memahami dan menghayati alam sebagai mana di pahami dan dihayati oleh masyarakat adat di seluruh dunia dengan kearifan lokalnya. Alam bagi masyrakat adat disini dipahami sebagai satu kesatuan asasi dengan kehidupan manusia. Melihat alam berarti melihat kehidupan, berarti juga melihat kehidupan manusia itu sendiri dan merusak alam berarti merusak kehidupan berarti juga merusak kehidupan manusia itu sendiri (Sonny Keraf, 2014-86)
Dari pandangan di atas dapat memperjalas bahwa alam tidak semata-mata di pandang sebagai penghambat pembangunan maka sumber daya alam harus di ekspoitasi besar-besaran, tetapi penekananya lebih pada bagaiman pembangunan dan alam dapat bersahabat.
Apartemen mewah yang berpuluhan tingkat. Jalan beraspal dengan berjuta kendaran berlalu-lalang. Pasar dan ruko yang bertingkat merupakan kemajuan peradaban modern tetapi juga merupakan kerusakan jaringan ekologis yang terjalain secara alamiah.
Dengan demikian untuk memajukan orang Papua tanpa merusak sisitem ekologi di Papua membutukan kajian yang mendalam dan dapat di pertanggungjawabkan.Selain itu para subjek pembangunan membutukan pengetahuan yang sangat memadai agar mereka dapat menerapkan pembangunan yang bersabat dengan Alam.
Persoalan ini merupakan persolan paradikma pemerintah yang memandang alam sebagai pemuas kebutuhan manusia, bukan lagi alam dipandang sebagi penyedia kehidupan manusia. Oleh karena itu pemerintah Papua yang harus mengubah paradikma lama. Mengubah dalam hal memandang alam Papua sebagai bagian tidak terpisakan dari manusia dan manusia tidak bisa hidup tanpa alam. Merusak alam berarti merusak kehidupan manusia itu sendiri.
Beberapa Daftar Bacaan:
[1] Keraf, S. 2015. Filsafat Lingkungan Hidup, Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan (bersama Fritjop Capra). Yogyakarta: Kanisius.
Comments
Post a Comment