Secara umum melalui pendidikan mendidik manusia
pada tiga rana. Kognitif, Afektif dan psikomotorik. Kognitif berkaitan dengan
pengetahuan. Afektif berkaitan dengan sikab, moral, etika dll. Sedangkan psikomotirik
berkaitan skill.
Suatu sistem pendidikan dipandang berhasil jika
ketiga rana ini berhasil dibentuk pada peserta didik. Sistem pendidikan di
Indonesia dalam kurikulum 2013 mengharuskan pembelajaran dan penilaian terpadu.
Artinya, ketiga rana ini dinilai secara terpadu. Hal ini merupakan salah satu
poin yang membedakan Kurikulum 2013 dengan kurikulum lain sebelumnya.
Bagai mana dengan sisitem pendidikan yang
baik?
Dewasa ini jika kita amati sistem pendidikan
terbaik di dunia, dari berbagai sumber kita akan dapati Finlandia menampati
urutan satu pendidikan terbaik di dunia. Keisimewaan sistem pendidikan di
negara itu, terletak pada penyelenggaraan sistem pendidikan itu sendiri.
Di Finlandia jangan anda bermimpi untuk menjadi
seorang guru jika kemampuan anda di bawa rata-rata. Hal ini karena di Negara
itu, guru diseleksi dari lulusan universitas terbaik di seluru Finlandia dan
mereka yang masuk 10 besarlah yang berhak jadi Guru.
Proses seleksi masuk jurusan keguruan dan seleksi
untuk menajdi guru yang begitu ketat membuat tingkat kesukaran yang ekstra di
profesi ini dan proses itu pulah yang membuat guru sangat dihargai dan dihormati di
negara itu.
Sederhananya, tingkat kesukaran untuk menjadi seorang guru di Finlandia, sama halnya dengan menjadi seorang dokter atau pengacara di Indonesia. Guru memiliki tanggungjawab penuh atas kemajuan pendidikan di negara itu.
Bukan hanya itu, sistem pendidikan di Finlandia
mewajibkan anak-anak mereka masuk sekolah setelah umur 7 tahun dan 12 tahun
100% bebas biaya untuk sekolah negeri. Sekolah swasta diatur sedemikian rupa
sehingga biayanya ditekan serendah mungkin.
Selain itu jika kita di Indonesia jam belajar
untuk siswa terus bertambah. Di negara itu, jam belajarnya mala
berkurang. Di sana para siswanya belajar 45 dan 15 menit istirahat.
Ya, Siswa SD dan SMP bersekolah hanya 4-5 jam dalam sehari. Pada Jenjang SMP dan
SMA sudah menerapakan sistem pembelajaran seperti kuliah.
Singkatnya, hanya 4-5 jam guru berada di ruangan kelas.
Proses pembinaan pendidikan anak di Finlandia
bukan semata-mata berlangsung di sekolah. Selama anak belum genap tujuh tahun
yang berperan penting mendidik anak adalah orang tua dan Pendidkikan Usia Dini
(PAUD). Para petinggi di negara itu percaya anak harus dididik dan dipersiapkan
secara ekstra pada usia balita.
Di negara itu guru dianggap paling tahu dan paham
tentang karakter dan tingkat pengetahuan siswanya, sehingga tidak ada ujian
masional dan evaluasi. Ya...tidak ada intervensi dari pemerintahnya dalam soal
merancang kurikulum dan evaluasi. Pemerintahnya percaya, guru yang lebih paham
dan mengerti tentang kurikulum dan evalusi yang sesuai dengan
murud-muridnya.
Para guru di negara itu harus bergelar Magister dan untuk menempuhnya dibiayai pemerintah. Dalam pembelajaran di sekolah tidak ada pembedaan antara siswa yang pandai, pas-pasan, dan yang tidak mampu (bodok). Mereka percaya semua siswa harusnya sama pintar. Selain itu, tidak ada sistem rangking di kelas.
Guru benar-benar harus menjadi telandan. Setiap
siswa diperbolehkan salah dalam belajar dan haram bagi guru untuk berkata
"Kamu salah" jika ada siswa yang melakukan kesalahan. Mereka mendidik
siswanya untuk mengevaluasi dirinya sendiri, dengan begitu siswanya paham dan
tahu kesalahan dan kekurangannya sendiri.
Para gurunya percaya pemberian rangking dan
pembentukan hirarki pintar dan bokok dalam ruangan kelas maupun pembagian kelas
serta teguran atas kesalahan siswanya, hanya akan mempengaruhi psikologi
siswanya dalam belajar hal-hal baru.
( Baca juga: Bagi Orang Papua Gubernur,Camat, Dan DPR Lebih Berwibawa Dari Pada Sains Dan Teknologi )
Bagaiman dengan sistem pendidikan di
Indonesia?
Di Indonesia guru harus tunduk pada pemerintah.
Guru harus berusaha mengejar target-target yang pemerintah inginkan. Kurikulum
dan ujian nasional sebagai bentuk evaluasi pemerintah atas kinerja pengajaran
guru. lebih jauh lagi, UN merupakan evaluasi pengukuran keberhasilan pemerataan
dan hasil pencapaina pendidikan itu sendiri.
Asumsi saya proses ini terkesan pemerintah
menuntut Guru, guru menuntut siswa dan orang tua siswa mengharapkan guru. Ya..
Pemerintah tidak menghargai profesi seorang guru, guru tidak menghargai sisi
humanis siswa itu sendiri dan orang tua melepaskan tanggungjawabnya kepada guru
dan berharap guru melakukan tangungjawab yang seharusnya menjadi tugas
orang tua murid.
Kalau sudah begini, apa jadinya? Jangan heran jika
ada guru yang pusing dan malas mengajar.
Dampak negatifnya Apa?
Misalnya, seorang siswa yang pandai dibidang
matematika dan fisika dipaksa untuk memenuhi nilai biologi dan kimia sesuai
standar yang diinginkan pemerintah. Ketika anak itu tidak berhasil mencapai
standar itu maka anggapan masyarakat siswa itu bodok atau tidak mampu karena
tidak lulus Ujian Nasioanal (UN). Tidak cukup sampai di situ, proses ini
tidak jarang berujuang pada siswa itu Frustasi. Selain itu, orang tua sibuk
dengan profesi dan tugasnya sehingga lupa untuk mendidik anak-anaknya. akhirnya
Guru lagi yang menjadi objeknya.
Jangan heran gan. Di negara ini jika sudah
mendekati UN banyak siswa yang stres dan frustasi. Ingin bukti nyata? saya sarankan nonton berita di TV saat-saat menjelang UN. Anda akan mendapat
informasi langkapnya. Lebih jauh lagi, jika anda pernah bersekolah saya rasa
anda pernah mengalami hal itu.
Sistem UN hanya akan memelihara budaya korup.
Anda akan mendengar tentang kebocoran kunci jawaban UN di berbagai
daerah. Selain itu, anda akan mendengar tentang terjadinya kecurangan
dimana-mana. Dan hasil akhirnya, di negara ini yang lulus UN lebih banyak dari
pada siswa yang Lulus seleksi SMPTN.
Bukan hanya itu, misalnya di kota-kota besar di
Indonesia. Saat pelaksanaan UN siswa di intai dengan CC TV tatapi masih saja
ada yang menyontek. Lebih jauh lagi, bagi saya siswa sudah di samakan dengan
pencuri yang harus diintai melalui CC TV. Kalau sudah sampai begini, bagaimana
siswa tidak stres dan frustasi menghadapi UN. Hal-hal semacam ini membuat
siswa berpikir bahwa yang terpenting adalah lulus ujian dan mendapatkan nilai
yang memuaskan. Bukan menciptakan ilmu pengetahuan atau menganalisis kasus
untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.
Yah, jangan heran gan. Beberapa orang yang paham tentang pendidikan (Dosen/ahli) di Indonesia akan berkata siswa Indonesia kaya dengan budaya menghafal. Menghafal berarti memuntahkan kembali apa yang sudah ada, bukan kreatif, inovatif dan produktif. Hal ini juga merupakan alasan mendasar mengapa Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Hamid Muhammad meluncurkan kurikulum 2013 atau yang biasa disingkat KURTILAS beberapa tahun lalu.
Yah, jangan heran gan. Beberapa orang yang paham tentang pendidikan (Dosen/ahli) di Indonesia akan berkata siswa Indonesia kaya dengan budaya menghafal. Menghafal berarti memuntahkan kembali apa yang sudah ada, bukan kreatif, inovatif dan produktif. Hal ini juga merupakan alasan mendasar mengapa Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Hamid Muhammad meluncurkan kurikulum 2013 atau yang biasa disingkat KURTILAS beberapa tahun lalu.
Kata Hamid,kurikulum 2013 juga menguatkan substansi pendidikan. Perbandingan capaian pendidikan di Indonesia berbeda jauh dengan pendidikan negara lain. Siswa Indonesia, katanya, baru menguasai level terendah yaitu menghafal. “Kalo menghafal kita paling jago tetapi kalo sudah menganalisis, memecahkan masalah dan seterusnya kita itu termasuk kategori yang kurang, oleh karena itu kita perbaiki,” jelasnya. (kemdikbud.go.id)
Kurtilas merupakan sarana untuk menciptakan siswa
yang bukan hanya kaya akan hafalan tetapi kreatif, inovatif, dan
produktif. Ya, kalau sudah ada kreativitas pasti akan ada inovasi dan kalau
sudah berinovasi hasilnya adalah produktifitas.
Dengan demikian UN terlalu banyak menekan
psikologi siswa Indonesia. Anggapan pemerintah dengan UN mereka dapat
mengevaluasi hasil pencapaian pendidikan dan kekurangan dari pendidikan itu
sendiri, namun pertanyaannya apakah hasil evaluasi itu berasal dari data UN yang
baik dan terukur kebenaranya?
Asumsi saya, hal ini kurang akurat karena data -data itu bisa juga dari data hasil kecurangan pihak tertentu yang mengingikan siswanya lulus 100% . Bisa juga data yang diperoleh dari kondisi psikologis siswa yang tertekan karena harus memenuhi target UN yang ditetapkan pemerintah sehingga gugup dan salah mengerjakan soal itu dan lainya sebagainya.
Yang pasti, hanya gurulah yang lebih paham
tentang siswanya di lapangan bukan pemerintah yang santai dengan kursi sofa. Hal
ini sebagaimana di Finlandia, pemerintah memberi otonomi kepada Guru dan guru
memberi otonomi kepada siswa.
Di indonesia bisa kita lihat, hasil dari sistem pendidikan negara ini sebelumnya yang mengutamakan rana kogintif melahirkan generasi muda yang pandai bersembunyi dan linca bersandiwara
meskipun korupsi uang negara. Ketika anda amati hampir semua orang yang korupsi
di negara ini, anda akan menemukan meraka adalah orang-orang berintelektual
tinggi dan bahkan di segani di tingkat nasional dan internasional.
Anehnya, mereka bisa melakukan itu dengan licik dan linca. Sampai di sini, apa yang salah dan siapa yang salah? Tidak ada yang salah, tetapi yang pasti nilai afektif pendidikan kita begtu rendah sehingga melahirkan generasi yang kaya dan pandai secara kognitif tetapi lemah dan nihil akan nilai afektifnya.
Bagiaman pendidikan di Papua?
Pendidikan di Papua sangat komples untuk dibahas.
Kompleksi karena pendidikan di Papua bukan hanya persolan saran dan prasara,
letak geografis tetapi juga tentang masalah kualitas guru dan respon
orang tua dalam menyiapkan anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan itu
sendiri.
Dalam upaya mengatasi semua persolan itu, menurut
saya ada 3 langkah yang harus kita tempu.
Pertama orang tua. Hal ini karena dunia
pertama yang akan dilalui seorang anak adalah lingkungan keluarga. Seorang anak
akan belajar untuk memperoleh pengetahuan pertama kali di lingkungan keluarga.
Baik mama, bapa, keponakan, tete (Opa), nenek (OMA) dan lain sebaginya.
Memang benar, sejak dini seorang anak harus di
didik dan dibentuk sedemikian rupa sampai anak tersebut masuk pada
jenjang, PAUD, TK, atau SD. Dan jika peran orang tua di tahap awal ini berjalan
begitu baik dalam menyiapkan anak-anaknya, maka di sekolah hanya tinggal
polesan dan penyesuaian yang dibutuhkan anak tersebut.
Ya, hal ini pulah yang ditempuh negara-negara maju. salah satu contohnya kita bisa belajar dari Finlandia. Sebelum anak berusia 7 tahun, anak tersebut tidak di perbolehkan masuk kejanjang pendidikan. Selam itu anak menjadi tangungjawab orang tua.
Di Papua tahap ini agak sulit sekali untuk di
terapkan. Pasalnya, orang tua akan pasrakan anaknya ke sekolah. Lagi-lagi, di
sini Guru di Papua memegang tanggungjawab yang lebih berat. Apa yang
seharusnya menjadi tanggungjawab orang tua semuanya dibebankan kepada
guru. Belum lagi beban yang di berikan pemerintah kepada para guru dengan
standar-standarnya.
Sederhananya, orang tua mengharapkan guru dan
pemerintah menuntut guru. Pertanyaanya Guru mana yang tidak stres.
"Alhasil memang benar guru merupakan pahlawan tanpa tanda jasa dan hal itu
merupakan sebuah kebenaran yang patut untuk kita hargai"
Kedua yang harus dilakukan adalah
pemerintah harus mengutamakan kualitas maupun kuantitas guru-guru di Papua.
Mengutamakan yang saya maksud di sini bukan gajinya, tetapi memberi pelatihan
yang memadai minimal 1 tahun dua kali dengan cara membangung kerja sama
yang permanen dengan badan-badan pelatihan yang terpercaya atau membangun
kerjasama dengan sekolah-sekolah yang dipandang baik di luar Papua. Selain
itu, bisa juga dengan cara membiayai para pendidik di Papua hingga ke jenjang
Magister.
Poin ini menekankan bahwa guru yang baik akan menciptakan siswa yang baik pula. Artinya guru merupakan patokan utama dalam menjalankan dan menerapkan pendidikan itu sendiri. Lebih jauh lagi guru menentukan kualitas pendidikan yang akan di peroleh siswa.
Dasar acuan asumsi saya di Poin ini bisa kita
melihat dari apa yang di terapkan Finlandia. Di sana yang mereka utamakan
adalah Guru. Bukan hanya mengutamakan guru, tetapi mereka percaya bahwa guru
sebagai empuhnya pendidikan itu sendiri. Hal ini sebagaimana dalam pebahasan di
atas.
Selain itu kesesuan dari poin ini bisa kita
lihat dari pendapat Albert Einstein.
"Jika Anda tidak bisa menjelaskannya dengan sederhana, berarti Anda belum memahaminya dengan baik"
Bukan hanya itu, berikut ini pendapat Prof.
Yohanes Surya.
"Tidak ada anak yang bodoh, yang ada hanya anak yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik dan metode yang benar"
Selain dari dua poin di atas, kita bisa melihat dari pertanyaan dan himbauan pertama kaisar Jepang setelah kota Hirosima dan Nagazaki dibom atom oleh tentara sekutu dalam perang dunia ke-II. Pertanyaan pertama itu adalah bukan berapa orang yang menjadi korban dari perang , berapa yang selamat, dan berapa pegawai serta tentara yang masih hidup, tetapi " Berapa Guru yang masih hidup " hasil dari itu, sekarang kita ketahui bahwa negara itu telah menjadi salah satu negara yang paling disegani di wilayah asia.
Sampai di sini terlihat jelas, maju dan tidaknya
SDM di suatu negara atau daerah terletak pada bagaiman guru itu berperang
sebagai tokoh sentral dalam membentuk sumber daya manusia di suatu wilayah atau daerah. Selain itu, gurulah yang akan berhadapan langsung dengan generasi mudah
yang di maksud. Guru lebih memahami kondisi real siswanya, karena pada
kenyataannya guru yang baik sudah pasti akan menghasilkan SDM yang baik pulah.
Ketiga pengadaan sara dan
prasarana untuk tiap jenjang pendidikan di Papua. Pengadaan sara dan prasarana
ini bukan hanya sebatas penyedian dan pengadaan segala bentuk fasilitas yang
secara langsung dan tidak langsung berpengaruh dalam proses belajar mengajar,
baik yang di gunakan guru maupun siswa, tetapi mencangkup juga pemberlakuan
sekolah gratis 12 tahun bagi generasi mudah Papua. Hal ini memungkinkan
terlaksananya pendidikan secara merata di seluruh Papua.
Hanya dengan begitu, tidak akan ada ungkapan "Pendidikan
di Papua di khususkan untuk mereka yang beruang". Jika hal ini
benar-benar di terapkan, maka asumsi saya semua generasi mudah di Papua
akan berpendidikan, baik yang orang tuanya berada maupun yang tenengah kebawah.
Pertanyaanya, apakah pemerintah Papua mampu
melakukan ini?
Asumsi saya sebenarnya pemerintah Papua bisa
menerapkan sistem ini untuk memasyarakatkan pendidikan di Papua. Apa lagi belum
lama ini Gubernur Papua Lukan Enembe prioritaskan bidang pendidikan di
Papua.
Selain itu kekayaan sumber daya alam Papua yang
berlimpah dapat dimanfaatkan untuk membuat program yang menggratiskan biaya
sekolah 12 tahun bagi anak-anak Papua. Bukan hanya sampai di situ, para guru
yang menjadi tulang punggung pendidikan di Papua. Pemerintah harus wajib membiayainya
sampai ke jenjang magister.
Setelah kedua poin di atas di terapakan
pemerintah. Selanjutnya, pemerintah wajib memfasilitasi dan menyelenggrakan pelatihan
rutin. Jika bisa, dalam setahun dua kali pelatihan bagi para guru di Papua. Hal ini untuk
memperkokoh profesi mereka sebagai seorang guru yang profesional dalam
menerapkan dan menjalankan pendidikan itu sendiri di Papua.
Sampai di sini, bagaiman pendapat anda tentang
pendidikan di Papua?
Sangat benar, saya setuju...
ReplyDeletekarena di finlandia tidak ada orang islam, maka pendidikannya sangat2 bisa maju
ReplyDeletekarena di finlandia tidak ada orang islam, maka pendidikannya sangat2 bisa maju
ReplyDelete