-->

Sejarah Raja Ampat di Provinsi Papua Barat yang Perlu Anda Ketahui !

Post a Comment
Dihaimoma menulis

Di mana Raja Ampat? Kabupaten Raja Ampat terletak di provinsi Papua Barat tepatnya dibagian Selatan kepala burung pulau Papua. Kabupaten ini merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong berdasarkan UU No.26 tahun 2002 tentang Pembentukan Kabupaten Sarmi, Kabupaten Kerom, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Raja Ampat pada tanggal 3 Mei tahun 2002. Ibu kota kabupaten Raja Ampat terletak di Waisai.

Kabupaten ini sebagian besar wilayahnya terdiri dari perairan sehingga sering disebut juga sebagai kepulauan Raja Ampat alias Raja Ampat Island. Raja Ampat memiliki 4 pulau besar, yakni Pulau Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool berserta 1.847 pulau kecil lainnya. Jadi, kabupaten ini identik dengan surga wisata baharinya yang sangat indah.

Keindahan Raja Ampat tidak perlu diragukan lagi. Tempat ini dikenal masyarakat dunia dan dinobatkan sebagai salah satu tempat dengan suga wisata bahari terbaik di dunia. Tapi, terlepas dari keindahannya. Apakah sobat sudah mengetahui tentang sejarah Raja Ampat?Kalau belum, dalam artikel ini Dihaimoma.com akan berbagi tentang sejarah Raja Ampat secara singkat.

Dalam pembahasannya akan saya bagi menjadi dua bagian. Sejarah Raja Ampat ditinjau dari cerita masyarakat setempat dan juga dari segi ilmu sejarah dengan mengacu pada beberapa sumber. Berikut ini Sejarah Raja Ampat di Provinsi Papua Barat yang Perlu Anda Ketahui !


1. Sejarah Raja Ampat Versi Masyarakat  Setempat


Rasanya sangat naib jika kita harus merendahkan mitos atau pengetahuan tradisonal suatu kelompok masyarakat. Mengapa? Sebab ilmu pengetahuan dan teknologi yang dewasa kita nikmati pun berawal dari mitos. Yah..andai saja mitos itu tidak ada, manusia tidak akan mungkin dituntun untuk terus berpikir dan melahirkan pengetahuan yang dapat dipertangungjawabkan secara ilmiah.

Mitos terbukti mampu membawa manusia keluar dari goa ketidaktahuan. Melalui mitos, orang mulai berpikir untuk membuktikan mitos-mitos tersebut dengan nalar logis dan eksperimen. Mitos merupakan pengetahuan yang mampu menggambarkan suatu kondisi yang masih misteri dengan pengetahuan ala kadarnya untuk dapat diterima nalar manusia.

Seperti pada umunya setiap kelompok masyarakat disuatu daerah memiliki sistem pengetahuan tradisional yang mencakup semua lini kehidupan untuk menjelaskan suatu peristiwa kepada setiap generasi. Masyarakat Raja Ampat pun memiliki dua versi cerita yang sama-sama berkisah tentang asal-usul raja Ampat.

Pertama versi masyarakat komunitas keturunan Biak di Raja Ampat. Kedua versi masyarakat suku  Ma’ya, yang berbahasa Ma'ya,  yakni suku Wawiyai, Laganyan, Ambel, dan Kawe.

Naah...! Kalau kedua versi cerita ini kita tinjau berdasarkan ilmu pengetahuan masa kini maka setiap  cerita rakyat dapat kita bagi kedalam tiga golongan besar, yakni Mite, legenda, dan Dongeng. Dengan demikian kedua cerita berikut ini masuk kedalam legenda, karena karakternya yang tidak dianggap suci dan bisa menjadi konsumsi publik.

a.  Sejarah Raja Ampat Versi Suku Biak (Baser)


Cerita asal-usul Raja Ampat versi masyarakat keturunan Biak di Raja Ampat ini sangat populer sehingga tercetak sampai dalam brosur-brosur pariwisata. Versi ini tidak hanya populer, tetapi juga mendominasi cerita asal-usul Raja Ampat dan diketahui banyak orang

Dari segi kuantitas kelompok ini bisa disebut sebagai suara mayor atau pemegang narasi besar dalam cerita asal-usul Raja Ampat. Bukan hanya popular, tetapi juga banyak ahli yang turut membahas seputar cerita ini, misalnya Kamma dalam buku "Ajaib di Mata Kita" dan beberapa ahli lainnya yang turut membahas cerita versi ini dalam buku mereka.

Berikut ini merupakan cerita asal-usul Raja Ampat berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Amos Mambrasar yang juga merukan keluarga Biak di Raja Ampat atau orang Beser yang ditulis oleh Dina Amalia Susamto dalam penelitiannya yang dirangum Dihai.

Raja Ampat merupakan nama yang diambil dari empat raja putra Kurawesi yang berkuasa di Pulau Waigeo, Batanta, Misool, dan Salawati. Empat anak ini lahir dari pernikahannya dengan Boki Taiba, putri Sultan Jamaluddin Tidore dan masing-masing dari mereka bernama Kolano War, Kolano Betani, Kolano Dohar, dan yang bungsu bernama Kolano Mohamad. Kolano dalam bahasa Biak berarti gelar raja.

Pada tahun 1512 Sultan Jamaluddin wafat dan digantikan oleh Sultan Syech Mansyur. Pada masa itulah, antara tahun 1512–1526, Kurawesi beserta istri dan anak-anaknya pulang ke Waigeo diantar oleh para pengikutnya dari Pulau Makian, di Tidore.

Ketika membandingkan versi cerita ini dengan cerita yang tercantum dalam situs-situs resmi dan brosur wisata tentang asal-usul Raja Ampat. Menurut sang peneliti, cerita asal-usul Raja Ampat yang dituliskan dalam brosur dan laman pariwisata hampir sama dengan narasi yang berasal dari keluarga Mambrasar di atas ini.

Perbedaannya, di dalam pemasaran pariwisata ditekankan pada mitos empat raja yang berasal dari telur yang menetas. Telur tersebut ditemukan oleh Kurawesi dan istrinya. Telur yang ditemukan berjumlah tujuh, empat menjadi pangeran, satu menjadi seorang perempuan, satu menjadi hantu, dan yang terakhir tidak menetas menjadi batu keramat.

Cerita ini  versi ini ditentang oleh versi suku Ma'ya sebagai berikut:

Baca juga: 



b.  Sejarah Raja Ampat Versi Suku Ma’ya

Dihaimoma.com
Fetival bahari Raja Ampat[image:Source]
Siapa suku Ma'ya? Istilah Ma'ya ini awalnya Maya kemudian diganti oleh Van der Leeden dengan istilah Ma’ya dari kata Makya atau Makia/Makian, tetapi orang Ma’ya sendiri menolak disebut sebagai keturunan Makian. Sebutan Ma’ya menurut Adam Gaman merupakan sebutan untuk empat suku yang ada di sana, yaitu suku Wawiyai, Langgayam, Kawe, dan Ambel yang memiliki bahasa sama tetapi dengan dialek berbeda (Remisjn, 2004:39-79). Jadi kata Ma'ya sendiri berasal dari kata Makia. Dalam cerita asal usul Raja Ampat Adam Gaman mengatakan bahwa versi ini merukan merupakan versi minor.

Menurutnya,  Raja Ampat yang berasal dari empat raja adalah pemahaman yang salah. Sementara itu, telur yang ditemukan oleh istri Alyab Gaman, Boki Duna, berjumlah tujuh. Tujuh telur itu menetas lima menjadi pangeran. Telur pertama yang menetas diberinama Kalana Gewar. Telur kedua diberi nama Funtusan. Lalu menetas yang ketiga diberi nama Melahaban. Telur keempat menetas menjadi bayi diberi nama Kelemuri. Bayi yang berasal dari tetasan telur kelima diberi nama Fatagar. Telur keenam menetas menjadi bayi perempuan dan diberi nama Pinthake. Satu telur yang tidak mentas hingga kini menjadi batu di Kaliraja yang masih dikeramatkan oleh masyarakat Ma’ya. Menurutnya, tidak ada telur yang menjadi setan atau hantu. Representasi telur yang menjadi hantu tersebut bagi Alyab Gaman menyinggung masyarakat Ma’ya.

Baca juga:


Ketika terjadi perseteruan dalam perebutan teteruga (penyu), kelima pangeran itu memutuskan untuk berpisah. Pangeran pertama menjadi raja di Pulau Waigeo. Pangeran kedua akan menjadi raja di Pulau Salawati. Pangeran ketiga akan menjadi raja di Pulau Misool. Pangeran keempat menuju Seram. Pangeran kelima hidup di Fakfak. Pintakhe dibuang ke Pulau Wundi, Biak, karena hamil akibat hubungan gelapnya dengan Funsomon, putra Kapatlot. Pintakhe melahirkan putra bernama Mantuki dan kelak diberi gelar Gurabesi/Kurabesi oleh sultan Tidore setelah ia membantu peperangan melawan Ternate.

Menurut Adam Gaman, Sultan Tidore berkuasa saat itu adalah Pangeran Nuku. Ia menghadiahkan adik perempuannya yang bernama Boki Taiba kepada Gurabesi sebagai istri. Gurabesi dan Boki Taiba kembali ke Waigeo, menetap sampai meninggal. Kematian mereka menurut Adam Gaman karena dibunuh oleh orang-orang Ternate. Perkawinan mereka tidak meninggalkan keturunan.

Adam Gaman mengatakan bahwa Raja Ampat bukan empat raja keturunan Gurabesi, tetapi empat suku, yakni Wawiyai, Lagayan, Kawe, dan Ambel yang berperan membesarkan dan mendidik lima pangeran dari telur yang menetas sehingga mendapat penghargaan sebagai Raja Ampat atau "Kalana Fat" dalam bahasa Ma’ya. Empat suku tersebut berbahasa Ma’ya dengan dialek yang berbeda.

Jadi, singkatnya dalam versi suku Ma’ya. Raja Ampat adalah nama empat suku, Wawiyai, Laganyan, Ambel, dan Kawe yang berbahasa Ma’ya atau dengan kata lain Raja Ampat adalah orang-orang Ma’ya sendiri.

Raja-raja dari keturunan para pangeran yang menetas dari telur tersebut sampai hari ini yang tersisa adalah raja di Salawati, yaitu Taher Arfan. Ia diangkat tahun 2001, yang keturunannnya yaitu Roi Arfan yang sempat ditemui sang peneliti. Taher Arfan putra Muhamad Ali, raja sebelumnya. Ayah Muhamad Ali adalah Funtusan, dan kakeknya bernama Umar. Umar adalah anak Muhamad Ali I yang merupakan keturunan pertama Funtusan, pangeran yang berasal dari telur.

Sejauh ini banyak peneliti yang telah mengkaji tentang dua versi cerita di atas ini untuk menjawab kontradiksi antara kedua versi dan nenek moyang siapa yang terlebih dulu menempati Raja Ampat. Tetapi, ujungnya melahirkan kesimpulan yang berbeda pula. Misanya, De Clerk (Remisjen, 2004:175) menyimpulkan bahwa empat raja di Raja Ampat merupakan anak biologis Kurawesi. Kesimpulan ini tentu lebih mengara pada cerita versi Suku Biak di Raja Ampat.

Wilayah Raja Ampat terdiri atas beberapa suku yang sering kali disebut salah satunya sebagai asli, sementara yang lainnya disebut pendatang. Max Ammer (2009:17-18) mencatat hasil wawancaranya dengan Gaman, suku-suku yang disebut penduduk asli adalah Suku Wawiyai atau Wauyai, Laganyan, Kawe dan Ambel,yang kemudian disebut suku Ma’ya. Kesimpulan ini mengara pada suku Ma’ya.

Sedangkan menurut Max Ammer mengatakan bahwa karena ketiadaan bukti sejarah secara tertulis menyebabkan ketidak jelasan keterangan tentang siapa masyarakat yang paling awal di Raja Ampat. Meski pun demikian, Max Ammer mempercyai secara umum bahwa klan Ma’ya merupakan masyarakat yang pertama mendiami Raja Ampat. Pendapat ini secara esensial mengacu pada cerita versi suku Ma'ya juga. Masyarakat Biak di Raja Ampat dikatakan oleh peneliti, seperti Remisjen (2004:180), Maryone (2010:79), dan Max Ammer (2009:17-18)  sebagai masyarakat pendatang.

Jadi, munculnya narasi asal-usul Raja Ampat dari orang-orang Ma’ya menunjukkan adanya ketidak setujuan pada narasi versi suku Biak di Raja Ampat. Orang-orang Ma’ya menganggap bahwa asal-usul Raja Ampat bagian dari kisah leluhur mereka.

2. Sejarah Raja Ampat ditinjau dari Ilmu Sejarah


Sejauh ini di Papua telah diidentifikasi empat sistem kepemimpinan tradisional yang digunakan masyarakat Papua sejak dulu. Raja Ampat sebagai bagain dari Papua juga menganut salah satu kepemimpinan ini, yakni sistem kempimpinan kerajaan. Berdasarkan pendapat Wc Klein dan Thomas Arnold. WC Klein dalam bukunya, New Guinea, yang dikuctip Cahyo (2008:56-57) menyatakan  bahwa pemimpin-pemimpin Papua mengunjungi Bacan pada tahun 1569 dan dari kunjungan tersebut terbentuklah kerajaan-kerajaan seperti Raja Ampat, Rumbati, Atiati, dan fatagar.

Hal ini di perkuat lagi dengan pandangan bahwa Sekitar tahun 1500 orang-orang Irian dari pantai Barat dan sebagian pantai Utara kehilangan kemerdekaan mereka. Sultan Tidore mengangkat kepala-kepala, yang sebetulnya lebih tepat dinamakan perantara daripada penguasa, dan ia mengharuskan mereka untuk membayar upeti tahunan berupa kulit penyu, burung cenderawasih dan budak belian (Kamma, 1981:62). Setelah tahun itu berlalu, kerajan-kerajaan ini tidak bergantung lagi dengan kekuasaan Tidore.

Hal ini sesuai dengan pendapat Kamma (1981:60) Kepulauan yang terletak antara Halmahera dan Irian Barat dinamakan Raja Empat (kolano fat). Daerah ini telah sejak lama (menurut legenda sudah sejak akhir abad ke-15) mengenal 4 orang raja (kolano). Dari situlah asal nama itu. Pernah, raja-raja ini tidak tergantung pada lain kekuasaan, karena pada tahun 1535 mereka membuat perjanjian dengan raja-raja Maluku untuk mengusir orang-orang Portugis.

Dari proses ini jelas bahwa Raja Ampat ini sudah tidak lagi bersifat mengikat setalah tahun 1535 karena mereka dapat membuat sutu perjanjian yang menekankan pada bertemunya dua kekuasaan yang berberda untuk mengusir orang Portugis. Namun dari segi pengaru kerajaan-kerajaan Maluku masih terus melekat di wilayah pantai barat Papua.

Pada abad ke-16 sultan-sultan Maluku telah menanamkan pengaruhnya di wilayah barat Pulau Nieuw Guinea, (Papua), yaitu di Kepulauan Raja Ampat yang meliputi Pulau Waigeo, Salawati, Misool, dan Waigama. Raja Waigama dan Raja Misool di bawah kekuasaan sultan Bacan. Sedangkan Pulau Waigeo dan Pulau Salawati menjadi rebutan sultan Tidore dan sultan Ternate. Persaingan diantara kedua kesultanan itu berdampak pada upaya perluasan daerah kekuasaan.

Sultan Ternate melebarkan kekuasaannya ke Sulawesi dan pulau-pulau disebelah barat Halmahera. Kesultanan Tidore melebarkan kekuasaannya hingga ke Seram Timur, Nieuw Guinea bagian barat dan semua pulau diantara Nieuw Guinea dan Halmahera.

 a. Pengaruh Kesultanan Tidore Wilayah Barat Papua


Kepulauan Raja Ampat merupakan mata rantai penting dalam pelayaran niaga antara Kesultanan Tidore dan Papua. Salah satu sumber daya alam wilayah Raja Ampat adalah sagu. Penduduk Tidore yang kekurangan sagu mendatangkannya dari kepulauan itu. Produk-produk lainnya yang membuat daerah ini dianggap penting secara ekonomi adalah hasil lautnya seperti teripang dan penyu.

Tingginya permintaan atas teripang dan penyu menyebabkan Kepulauan Raja Ampat sering dikunjungi oleh para pedagang dari Seram Timur, Tidore, dan Ternate. Mereka yang berkujung ini tinggal menetap dalam waktu yang lama sehingga terjadilah perkawinan campur dan melahirkan anak-anak yang tidak memiliki tipe khusus seperti pada umumnya penduduk asli Papua, yang berambut keriting dan kulitnya hitam.

Menurut Clercq dalam Perera Ana, M.f, dkk(2013:38) Interaksi antara Tidore dengan Kepulauan Raja Ampat dan daerah Teluk Mac Cluer (Doreri) menyebabkan diadopsinya lembaga-lemabaga politik dari Tidore seperti gelar kalana atau raja, korano, jojau, kapitan, suruan, sangaji, dan jimala. Di daerah Kepulauan Raja Ampat ditemukan empat pulau yang masing-masing dikepalai seorang raja yaitu Raja Waigeo, Raja Salawati, Raja Waigama, dan Raja Misool. Di Teluk Mac Cluer ditemukan daerah-raja-raja seperti Raja Rumbati, Raja Patipi, dan Raja Ati-Ati. Para raja tersebut menjadi perantra dalam menerima pajak dari penduduknya dan menyetor pajak tersebut kepada sultan Tiodre serta mengawasi penyetoran upeti lainnya.

b. Pengaru Sultan Tidore di Biak


Pengaruh Kesultanan Tidore di Pulau Biak dan Numfor berlangsung melalui hubungan Tidore dengan Raja Ampat. Dalam kontak tersebut, Kesultanan Tidore mewajibkan orang-orang Biak dan Numfor memberikan hasil-hasil bumi seperti getah damar, kulit masoi, burung cenderawasih, dan kulit penyu kepada Kesultanan Tidore.

Sebagai balasan atas hubungan Wilayah Vogelkop (kepala Burung) dengan dunia luar pemberian para penguasa lokal orang-orang Biak dan Numfor, sultan Tidore menganugerahkan gelar-gelar yang menunjukkan kedudukannya di dalam masyarakat. Gelar-gelar yang diberikan Sultan Tidore sampai sekarang masih digunakan sebagai nama fam/keret seperti: kapitarau (kapitan laut), kapisa (kapitan), mayor, sanadi (sangaji), suruan (suruhan), dan urbasa (juru bahasa).
Lomabah Dayung Perahu[image:Source]
Pendapat ini kembali mempertegas pendapat Kamma (1981: 90) bahwa dapat dipastikan bahwa sudah pada pertengahan abad ke-15 orang-orang Biak dan Numfor sampai kebarat (kepulauan Maluku), sedangkan orang-orang Biak telah mengunjungi Tidore. Mungkin salah satu klan mereka inilah, yaitu orang Sawai, yang menetap di Halmahera dan kemudian di Seram Utara.

Suku Biak bukan hanya berbaur dan menetap di pualu-pulau tersebut tetapi juga sempat membantu sultan Tidore pada tahun 1649. Waktu VOC sedang berperang dengan Tidore, datanglah suatu armada yang terdiri dari 24 perahu ke Tidore dengan membawa bahan makanan."Kapal-kapal kecil itu datang dari kepulauan Irian untuk membantu raja Tidore, di bawah perintah seorang yang bernama Gurabessi". (Gurabessi adalah tokoh legendaris yang terkenal dari sejarah Biak).

Keberadaan suku Biak ini kembali dipertegas lagi Kamma (1981:90) bahwa menurut sejarah dan mitos-mitos di daerah ini dahulu ada empat orang raja kecil yang "memerintah", atas nama Tidore. Mereka itu masuk Islam, tetapi pengaruh mereka di daerah ini kecil saja atau tidak ada sama sekali. Yang jauh lebih kuat adalah pengaruh para pendatang Biak dan Numfor yang kadang-kadang seluruhnya menyatu dengan suku-suku yang kecil jumlah anggotanya, kadang-kadang berkembang sendiri secara terpisah. Orang Betew-Biak, yang berasal dari Sowek, ternyata menerima agama Mon (Syamanisme) dari orang Tiping di Batanta, sedangkan orang Biak yang lain tetap memelihara hubungan dengan negeri asal dan kebudayaannya.

c. Kondisi saat ini di Raja Ampat


Masyarakat adat yang pertama-tama (indigenous people) mendiami Kepulauan Raja Ampat adalah orang atau suku Ma‟ya. Suku Ma‟ya tersebar kemudian menyebar dan menempati 4 pulau besar dan sekitar 600 lebih pulau-pulau kecil yang ada di kawasan ini. Penyebaran ini kemudian membentuk sebanyak 13 sub suku, masing-masing adalah: (1) di Pulau Waigeo menetap 4 sub suku yaitu Ambel, Langanyan, Wawiyai dan Kawe; (2) di Pulau Batanta dijumpai 2 sub suku yakni Bata dan Olon; (3) di Pulau Salawati dijumpai 5 sub suku masing-masing adalah Tipin, Mocu, Kawit, Saorof dan Fiawat; (4) di Misool terdapat sub suku Matbat dan Matlou.

Terjalinnya hubungan antara masyarakat Pulau Biak-Numfor dan Raja Ampat dengan kawasan disebelah barat yakni Maluku Utara dan Pulau Seram, memungkinkan terjadinya migrasi orang dari Pulau Biak-Numfor ke Raja Ampat. Mereka menempati pulau sekitar Meosmansuar dan Pulau Gam, serta sebelah timur dan utara Pulau Waigeo. Suku-suku pendatang ini hampir tidak bisa dibedakan dengan penduduk asli Raja Ampat karena proses interaksi dan akulturasi budaya melalui proses perkawinan.

Keberadaan orang Biak ke tanah Raja Ampat melahirkan sub suku Biak Raja Ampat atau sering disebut Biak Beser atau Biak Beteuw. Sebagian besar mereka tinggal dibagian selatan dan barat Pulau Waigeo, Pulau-pulau Kofiau dan Boo, dan Pulau Babi di sekitar Misool. Sub suku Biak lainnya adalah Usba dan Wardo yang dijumpai di Waigeo Timur dan Waigeo Utara serta Kepulauan Ayau di utara Raja Ampat.

Selanjutnya terjadi pula migrasi penduduk dari Kepulauan Maluku (Provinsi Maluku dan Maluku Utara) khususnya dari pulau-pulau Tidore, Ternate, Halmahera dan Seram ke kawasan Raja Ampat. Perkawinan antara orang Biak Beser dengan Ternate/Tidore melahirkan sub suku Umka, sedangkan perkawinan antara orang Biak dengan Ternate/Tidore disebut Kafdarun.

Sedangkan adanya beberapa masyarakat penganut agama Islam di Raja Ampat ini terjadi karena adanya hubungan yang baik dengan raja-raja dari beberapa kesultanan yang ada di Maluku Utara sekitar abad ke 15 menjadi awal masuknya agama Islam di Raja Ampat. Agama Kristen masuk kemudian melalui para misionaris Protestan pada tahun 1915 melalui Saonek. Data dari BPS Raja Ampat tahun 2013 memperlihatkan bahwa saat ini penduduk di Raja Ampat mayoritas beragama Kristen Protestan dan kemudian diikuti oleh penganut Islam dan Katolik


3. Kesimpulan



Bagaimanapun juga pangaru dari kesultanan Ternate dan Tidore secara tidak langsung mempengaruhi wilayah pantai Barat Papua melalui perdangan, penghargaan, dan juga melalui kujungan. Dari proses ini maka terjadilah asimilasi dan akulturasi dalam masyarakat Raja Ampat.

Namun jika ditinjau dari cerita rakyat versi suku Ma'ya maupun suku Biak Raja Ampat nampaknya terdapat legitimasi atas masing-masing versi cerita dari kedua suku untuk memperjelas eksistensi keberadaan nenek moyang masing-masing di pulau ini. Kondisi ini yang dalam penelitian Dina Amalia Susamto menyatakan bahwa melalui cerita rakyat asal-usul Raja Ampat, identitas masyarakat Ma’ya dan Biak direpresentasikan. Masing-masing dengan tujuan membentuk diskurus tentang kepemilikan Raja Ampat.

Politik identitas dimainkan di ranah esensialis yang meyakini bahwa keaslian berhubungan dengan penguasaan wilayah atau tanah. Penarasian Raja Ampat menghadirkan keberadaan leluhur, tempat-tempat yang dikuasai dijadikan legitimasi atas kepemilikan wilayah tersebut saat ini.
Dihaimoma.com
Haji Oea Saraka di Onin (Fakfak) antara tahun 1890-1900[image:Source]
 Hal yang tidak disadari bahwa sub jek masyarakat Ma’ya maupun Biak di Raja Ampat saat ini justru ambivalen. Identitas mereka tidak tetap sejak masa leluhur hingga sekarang. Ma’ya bukanlah Ma’ya, di masa lalu dan  Biak bukanlah Biak di masa lalu. Bersamaan dengan berjalannya waktu mereka kini berada di Raja Ampat di antara masyarakat pendatang lain. Politik identitas yang merujuk pada kembalinya esensialisme, sama dengan membiarkan keprimordialan merusak nilai sosial dan moral masyarakat yang telah beragam dan telah saling bercampur. Versi-versi cerita sebaiknya menjadi bagian dari kekayaan ekspresi budaya dan tidak dijadikan sebagaialat politik untuk mengklaim siapa yang lebih tua atau lebih unggul disuatu wilayah.

Dari segi tinjuan sejarah dapat kita simpulkan bahwa suku Biak merupakan suku pelaut di Papua yang berlayar jauh sampai ke luar Papua. Eksistensi meraka di wilayah Papua Barat tidak dapat dilupakan begitu saja. Merka menyebar dan membangun komunitas-komunitas mereka dan terjadilah kawin campur yang melahirkan sub suku baru yang sampai saat ini tersebar di Raja Ampat. Nenek moyang meraka patut dihargai dan dihormati, karena suku biak di raja Ampat merupakan bagian dari sejarah yang di ukir dalam riwayat Raja Ampat.

Dari pernyatan Kamma bahwa:

Menurut sejarah dan mitos-mitos di daerah ini dahulu ada empat orang raja kecil yang"memerintah", atas nama Tidore. Mereka itu masuk Islam, tetapi pengaruh mereka di daerah ini kecil saja atau tidak ada sama sekali.

Dan mengacu pada beberapa peninggalan Islam di kepulau Misool seperti makan Raja Islam dan Masjid maka dapat kita ajukan sebuah hipotesi bahwa keempat raja tersebut beragama Islam yang juga merupakan bagian dari suku Ma'ya yang merupakan suku asli setempat.

Tentu saja kesimpulan seperti ini masih bersifat hipotesis, perlu kajian lebih mendalam secara cermat, objektif dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tepi, terlepas dari itu, pengkajian itu dilakukan bukan untuk memecah-belah apa yang sudah terbagun dengan akrab sejak puluhan tahun lalu. Tetapi, lebih pada tujuan positif yakni untuk memperjelas kontradiksi yang masih terus mengembara dalam benak kedua kelompok masyarakat di Raja Ampat, karena mencari kejelasan itu bukan lagi rana mitos tetapi  sudah mutlak milik rana ilmu pengetahuan.


Daftar Acuan Artikel


[1]. Cahyo Pamungkas. 2008. “Papua Islam dan Otonomi Khusus:Kontentasi Identitas di Kalangan Orang Papua”. Tesis. Universitas Indonesia, Program Pasca Sarjana Sosiologi hlm 29.

[2.] Perera Ana, M.f, dkk .Sausapor: Saksi Sejarah Perang Dunia II di Kabupaten Tambrauw Provinsi Papua Barat: Kapel Press. 2003

[3]DinaAmalia Susamto.2017. Kontestasi Politik Identitas Dalam Cerita Asal-­Usul Raja Ampat . Jakarta: 23 April 2017

[4] Kamma.1981. Ajaib di Mata Kita  Jilid I. Bekasi. BPK Gunung Mulia.

[5] Schoorl, Pim. 2001. Belanda di Irian Jaya. Terjemahan oleh R.G.Soekadijo. Jakarta: Garba Budaya.

[6] Bau Mene. 2012 Pengaru Budaya Islam di Palau Misool Kabupaten Raja Ampat..Jayapura: Jurnal Arkeologi. Papua Th. IV NO.2/Novemver 2012

[7] Bau Mene. 2013. Keramik sebagai komoditas perdagangan di Pulau Misool Kabupaten Raja Ampat. Jayapura: Jurnal Arkeologi. Papua Vol..VNO.1 Juni 20013


Related Posts

Comments

Subscribe Our Newsletter